Sejak saat itu, mereka hidup melayang-layang, saling mencari dan hingga saat ini tak pernah dijumpainya. Dan Siska sudah berpuluh tahun mencarinya dan tak menemui harapan berjumpa.
Hingga suatu ketika, Siska teringat diriku dan mencarinya di kota ini. Kota masa kecilnya yang bersahaja, yang tak pernah mengenalkan tentang nestapa dan lara. Kota yang selalu membuatnya ceria dan bersuka ria. Kota masa kecil dalam kenangan yang penuh bahagia. Kota dimana dapat ditemui puncak bukit dan telaga menyatu. Kota yang dapat melihat kemilau teja senja di balik dedaunan di puncak bukit yang hijau. Kota dimana senja di tengah laut, dapat dilihatnya dari balik tirai. Kota yang diimpikannya untuk selalu kembali.
Kota dimana terdapat telaga yang begitu bening airnya, dan di dasarnya terdapat istana. Kata Siska, di dasar telaga itulah tempat terakhir dia melabuhkan harapannya. Dia tak mau lagi melayang-layang berpindah dari satu kota ke kota lain tanpa harapan. Di istana di dasar telaga itulah tempat terakhir hidupnya. Dan dia percaya di dasar telaga itulah, tempat kekal nirwana.
Tiba-tiba harum melati begitu tajam menusuk hidungku. Tak terasa hari sudah semakin gelap dan kabut malam menutupi penglihatanku. Air telaga beriak lebih kencang, dan Siska menghilang. Tiba-tiba aku jatuh terjerembab. Pandanganku gelap.... Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H