"Terbang Mas" jawab Siska singkat sambil tersenyum. Senyum Siska membuatku lebih rileks lagi dan terasa lebih akrab. Akupun tersenyum mendengar jawabannya.
Aku menoleh ke kanan dan ke kiri, tak kulihat motor Siska, yang kupikirkan setelah mendengar cerita driver online tadi, bahwa dua jam lalu, ia mengantarkan seorang wanita ke tempat rental motor. Jawaban Siska yang ke tempat ini dengan 'terbang' membuatku serasa geli bercampur aneh. Rupanya Siska, seperti mengerti yang kupikirkan.
"Kenapa mas, heran aku kesini terbang, kamu pikir aku kesini naik motor, ya nggaklah, aku baru tiga hari tiba di kota ini, mana tahu jalan kesini"
Jawaban Siska semakin membuatku heran. Kenapa waktu aku katakan, kita bertemu di puncak bukit yang ada telaga di bagian lembahnya, dia langsung tahu. Pikiranku bertanya-tanya, tapi sepertinya tidak penting pertanyaan itu. Siska datang ke telaga ini sendiri atau ada yang mengantar, tidak penting. Begitu pikirku. Yang terpenting pagi menjelang siang ini, kami sudah saling bertemu.
Harum melati kembali merasuki hidung, kali ini lebih tajam. Tiba-tiba air dalam telaga itu beriak. Tapi aku tak begitu peduli. Mata dan pikiranku tertuju ke Siska yang duduk disampingku. Cantik, putih namun terlihat pucat, mungkin kurang tidur semalam. Siska sepertinya sekarang jadi pendiam, padahal setahuku dulu ceria dan periang. Tatapan matanya tampak kosong, dia memandangi telaga tanpa berkedip.
Aku bertanya pada Siska, selama 30 tahun ini dia dimana, hidup dan bekerja, juga tentang anak-anak dan perjalanan hidupnya. Tapi Siska diam saja, dia sempat menoleh melihat wajahku dengan dingin dengan tatapan yang menahan jatuh bulir airnya di sudut matanya. Matanya sebening telaga. Aku tak berani menatapnya lebih lama.
Tatapan yang begitu dingin, dan seperti ingin mengabarkan sesuatu namun tak pernah tersampaikan. Aku ingin menanyakan lebih lanjut sebenarnya, tapi takut Siska tidak suka atau tidak nyaman dengan pertanyaanku. Dia terus memandangi telaga yang sempat beriak airnya itu. Tiba-tiba Siska menangis, memecah kebekuan. Namun justru membuatku semakin salah tingkah, heran, bingung dan tak tahu harus berbuat apa.
"Mas, liat deh, telaga itu ternyata dalam sekali, ada kali 20 meter dalamnya, dan di dasarnya ternyata ada istana, yang tersusun dari batu-batu berwarna legam" Kata Siska sambil terus terisak.
Ucapan Siska semakin membuatku bingung, heran dan semakin bertanya-tanya, apa maksud Siska sebenarnya. Aku datang kesini menemuimu, bukan untuk mendengar ucapan aneh-aneh. Kataku dalam hati yang masih tetap bingung dan heran.
Siska seperti tak peduli, dia terus menyusun kalimat demi kalimat yang semakin tak kumengerti. Namun sempat pula, dia ceritakan soal kehidupannya selama 30 tahun itu. Selama 30 tahun itu, dia bekerja di luar negeri, di tempat yang tak seorangpun bisa bertemu dengannya.
Dia hidup bersama seorang anak dari seorang suami yang tak pernah ditemuinya, begitu anaknya dilahirkan. Diapun hidup melayang-layang dari satu kota ke kota lain, untuk mencari sesorang yang dia carinya itu. Anaknya setelah dewasa, juga terbang terbawa angin, mencari sang ayah yang hingga sekarang tak pernah ditemuinya.Â