Mohon tunggu...
Wuri Handoko
Wuri Handoko Mohon Tunggu... Administrasi - Peneliti dan Penikmat Kopi

Arkeolog, Peneliti, Belajar Menulis Fiksi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Wanita yang Ditemui di Tepi Telaga

27 Juli 2020   21:52 Diperbarui: 28 Juli 2020   13:28 581
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://lifestyle.okezone.com/

Suatu ketika aku tertidur di bawah bayangan pelangi, pada sore itu, lalu terbangun di tengah malam yang sunyi. Hujan tengah malam itu membangunkanku. Berapa waktu sujudku telah terlewat, dan membuatku seperti kehilangan separuh harapan.

Aku termangu di tengah malam buta itu. Setelah itu aku tak bisa lagi pejamkan mata, hingga mentari mengintip di ujung timur, di garis cakrawala laut dan langit yang mengkilat teja.  

Hari ini aku punya rencana, menjemput seorang yang baru kukenal, pada beberapa malam lalu. Orang yang bisa saja menghancurkan hidupku, atau sebaliknya membawaku pada kehidupan baru. Aku tidak tahu, tapi aku sudah putuskan untuk menjumpainya.

Sebenarnya, orang yang baru kukenal setelah 30 tahun lamanya, tak pernah berjumpa. Seorang yang kukenal di masa kecil dulu. Setelah itu menghilang, tak pernah tahu kabarnya. Persisnya, kami tidak pernah saling tahu kabar masing-masing.

Matahari semakin meninggi, dan seperti hari-hari kemarin, matahari yang lebih sering bersembunyi, di balik awan. Awan yang lebih sering menghitam, dan seringkali mengucurkan butiran airnya, pada hari-hari ini. Hari menjelang pertemuanku pada seorang wanita yang baru kukenal itu.

Tak seperti biasanya, jalanan depan rumah masih lengang, padahal hari sudah menuju siang yang terang. Hmmm...aku lupa hari ini hari libur rupanya.

Sesekali matahari pagi mengintip, tapi lebih sering bersembunyi. Seperti aku yang lagi menyembunyikan kekhawatiran yang membingungkan. Orang yang akan kujumpai nanti adalah sosok yang membuat pikiranku penuh pertanyaan.

Setelah 30 tahun berlalu, tanpa kabar, tiba-tiba dia hadir dan ingin bertemu? Mengapa? Rindu? Apakah mesti secepat ini dan tiba-tiba. Lalu mengapa aku juga menurut saja apa maunya.

Pagi itu, aku terkejut, pintu rumah berbahan tripleks diketuk seseorang dari luar. Dengan tergesa-gesa segera kubuka, ternyata driver online yang sudah kupesan setengah jam yang lalu.

Segera aku meluncur dengannya. Ke suatu tempat yang sudah kujanjikan pertemuan. Di sebuah perbukitan, yang dari puncaknya ku bisa pandang pantai, lautan, telaga dan juga seluruh wajah kota tempatku mengaduk mimpi.

Perjalanan sudah sejam, tapi aku tak menyangka, di sepanjang jalan begitu lengang itu. Hari ini memang hari libur, tapi semestinya tak selengang ini.

Di tepi jalan, toko-toko menutup diri, seperti menghindari rejeki, orang-orang yang membawakan uang untuk ditukar dengan barang-barang yang di jual di toko-toko itu. Aku lihat bengkel motor, juga tutup, hanya menyisakan kotoran menghitam bekas oli, di lantai, di kursi, di pagar dan di pintu bangunan bengkel itu.

Rumah yang sebagian tampak depannya, menghitam legam, yang memperlihatkan wajah yang gerah dan kerja keras dengan penghasilan tak seberapa. Ku juga melewati pasar yang lengang, sepi dan lesu. Seperti hari-hari kemarin saat ku pulang tak membawa hasil. Di jalan aku mencoba memecah kebekuan, dengan mengajak ngobrol sopir online itu.

" Bang, gimana penghasilan hari ini?" tanyaku datar. "

'Sepi bang, dari semalam sampai pagi saya baru dapat tiga penumpang, padahal biasanya kalau semalaman, sudah bisa puluhan orang saya antar" jawab sopir online itu lebih datar.

" Berarti pagi ini baru ngantar saya ya bang" aku bertanya kembali dengan datar setengah malas.

" hmmm, pagi ini abang orang kedua, sekitar dua jam lalu, saya mengantar seorang wanita cantik" jawab sopir online itu, kali ini dengan sedikit suara yang lebih renyah setengah tertawa.

" Antar kemana bang? Jawabku tiba-tiba penasaran tanpa sebab.

" Owh, saya antar ke tempat penyewaan motor, katanya dia mau lanjutkan perjalanan pake motor saja"

Tiba-tiba kutertegun dan tidak lagi melanjutkan percakapan basa basi itu. Tiba-tiba terlintas wanita yang diceritakan oleh sopir online itu. Mengantar ke tempat penyewaan motor, lalu wanita itu melanjutkan perjalanan dengan motor rental?

Bayanganku tiba-tiba beralih ke wanita yang baru kukenal dan ingin bertemu denganku itu, di suatu tempat yang sudah kujanjikan. Saat kami berbincang di telpon, aku sampaikan, sebaiknya naik motor saja kalau mau bertemu di puncak bukit yang aku janjikan. Akan lebih mudah kalau ke tempat itu menggunakan motor.

Jangan-jangan dua jam lalu, wanita yang akan kutemui itu, yang diantar sopir online ini. Di dalam mobil yang sedikit apek itu, tiba-tiba tercium bau harum melati yang sangat lembut dan ringan.

Aku merasa perjalanan dengan mobil online ini, terasa begitu lama. Aku seperti tak sabar ingin segera ke tempat yang sudah kujanjikan untuk bertemua dengan seorang wanita yang baru kukenal, setelah 30 tahun lamanya itu. Seorang teman masa kecil yang tak begitu akrab, atau malah sering bertengkar sepertinya, masa kanak-kanak dulu.

Dan kini tiba-tiba ingin bertemu denganku dan kami sama-sama berumur mendekati paruh baya?. Hemmm...dunia dan waktu begitu aneh, pikirku. Waktu yang lengang tanpa kehadirannya, dan kini setelah sekian lamanya tak pernah kenal dan tak tahu masing-masing kabar, dengan tiba-tiba saja saling berjanji mengadakan pertemuan.

Driver online sepertinya sudah hapal jalan ke tempat kutuju. Tanpa banyak bertanya ia meluncur dan sedikit menaikkan gas mobilnya. Mobil menderu, melawati persawahan dan ladang-ladang kering yang tak tergarap. Cuaca pagi itu mulai terasa hangat.

Ac mobil yang tak berfungsi baik itu, aku suruh saja untuk dimatikan. Kubuka jendela, bau rumput kering merangsek hidung, dan debu berterbangan itu mulai membuntututiku. Mobil semakin menderu, dan menurunkan persnelingnya ke transmisi dua. Rupanya jalan semakin menanjak. Ku bayangkan, wanita itu sudah berdiri di tepi telaga, menantiku sedari tadi.

Benar saja, ketika mobil berhenti, kulihat wanita itu memunggungiku. Menghadap ke arah telaga yang bening airnya, meskipun musim kemarau. Setelah kubayar mobil online itu, segera perlahan aku mendekati wanita itu. Di belakangku mobil menderu meninggalkanku dan wanita itu. Hari masih pagi, dan rindang pepohanan di tepi telaga itu menyejukkan.

Sungguh menakjubkan, diantara puncak-puncak bukit itu, di tengahnya terdapat lembah, dimana telaga itu terhampar. Airnya yang bening, menampakkan rumput-rumput hijau di dasar tepinya. Aku menghampiri wanita itu, wanita yang tiba-tiba hadir di hadapanku. Harum melati merasuki hidungku, harumnya lembut dan ringan. Beberapa detik, aku seperti melayang saat bau harum melati itu merasuki hidung. Bukan harum yang menusuk, tapi harum yang membelai, yang bisa membuatku lunglai.

"Hai, sudah lama disini Siska?" Aku bertanya dengan sangat terbata-bata, kering dan kaku. Seperti perasaanku saat itu yang serba kuatir dan hati-hati. Dan juga kaku, karena baru hari ini ketemu lagi setelah puluhan tahun lamanya tak pernah saling tahu.

'Lumayan, sekitar setengah jam lalu"  jawab Siska dengan dingin dan datar. Iya, wanita itu namanya Siska, dulu, masa kecilnya selalu dipanggil Cika. Tapi aku tak berani memanggilnya dengan panggilan masa kanak-kanak. AKu kuatir Siska tidak suka dan menganggapku sok akrab.

Siska menjawab pertanyaanku dengan sangat dingin dan datar. Seperti air di telaga ini yang begitu dingin, meskipun di siang hari seperti saat ini. Aku mencoba rileks, walaupun dengan gerakan seperti yang kupaksakan. Lalu aku duduk menjuntai di pinggir telaga itu.

Lalu, tanpa aba-aba, aku menggulung kain celanaku sebetis, dan mulai mencelupkan kakiku ke dalam telaga. Segar, sejuk dan lebih rileks rasanya. Tak kusangka, Siskapun mengikuti gerakanku. Ia menggulung celana jins yang ketat setinggi lutut. Terlihatlah betis Ken Dedesnya, yang sejenak membuatku berdesir.

"Naik apa kesini Sis, kok lebih cepat ya, padahal sepertinya aku dari pagi sudah keluar rumah"

"Terbang Mas" jawab Siska singkat sambil tersenyum. Senyum Siska membuatku lebih rileks lagi dan terasa lebih akrab. Akupun tersenyum mendengar jawabannya.

Aku menoleh ke kanan dan ke kiri, tak kulihat motor Siska, yang kupikirkan setelah mendengar cerita driver online tadi, bahwa dua jam lalu, ia mengantarkan seorang wanita ke tempat rental motor. Jawaban Siska yang ke tempat ini dengan 'terbang' membuatku serasa geli bercampur aneh. Rupanya Siska, seperti mengerti yang kupikirkan.

"Kenapa mas, heran aku kesini terbang, kamu pikir aku kesini naik motor, ya nggaklah, aku baru tiga hari tiba di kota ini, mana tahu jalan kesini"

Jawaban Siska semakin membuatku heran. Kenapa waktu aku katakan, kita bertemu di puncak bukit yang ada telaga di bagian lembahnya, dia langsung tahu. Pikiranku bertanya-tanya, tapi sepertinya tidak penting pertanyaan itu. Siska datang ke telaga ini sendiri atau ada yang mengantar, tidak penting. Begitu pikirku. Yang terpenting pagi menjelang siang ini, kami sudah saling bertemu.

Harum melati kembali merasuki hidung, kali ini lebih tajam. Tiba-tiba air dalam telaga itu beriak. Tapi aku tak begitu peduli. Mata dan pikiranku tertuju ke Siska yang duduk disampingku. Cantik, putih namun terlihat pucat, mungkin kurang tidur semalam. Siska sepertinya sekarang jadi pendiam, padahal setahuku dulu ceria dan periang. Tatapan matanya tampak kosong, dia memandangi telaga tanpa berkedip.

Aku bertanya pada Siska, selama 30 tahun ini dia dimana, hidup dan bekerja, juga tentang anak-anak dan perjalanan hidupnya. Tapi Siska diam saja, dia sempat menoleh melihat wajahku dengan dingin dengan tatapan yang menahan jatuh bulir airnya di sudut matanya. Matanya sebening telaga. Aku tak berani menatapnya lebih lama.

Tatapan yang begitu dingin, dan seperti ingin mengabarkan sesuatu namun tak pernah tersampaikan. Aku ingin menanyakan lebih lanjut sebenarnya, tapi takut Siska tidak suka atau tidak nyaman dengan pertanyaanku. Dia terus memandangi telaga yang sempat beriak airnya itu. Tiba-tiba Siska menangis, memecah kebekuan. Namun justru membuatku semakin salah tingkah, heran, bingung dan tak tahu harus berbuat apa.

"Mas, liat deh, telaga itu ternyata dalam sekali, ada kali 20 meter dalamnya, dan di dasarnya ternyata ada istana, yang tersusun dari batu-batu berwarna legam" Kata Siska sambil terus terisak.

Ucapan Siska semakin membuatku bingung, heran dan semakin bertanya-tanya, apa maksud Siska sebenarnya. Aku datang kesini menemuimu, bukan untuk mendengar ucapan aneh-aneh. Kataku dalam hati yang masih tetap bingung dan heran.

Siska seperti tak peduli, dia terus menyusun kalimat demi kalimat yang semakin tak kumengerti. Namun sempat pula, dia ceritakan soal kehidupannya selama 30 tahun itu. Selama 30 tahun itu, dia bekerja di luar negeri, di tempat yang tak seorangpun bisa bertemu dengannya.

Dia hidup bersama seorang anak dari seorang suami yang tak pernah ditemuinya, begitu anaknya dilahirkan. Diapun hidup melayang-layang dari satu kota ke kota lain, untuk mencari sesorang yang dia carinya itu. Anaknya setelah dewasa, juga terbang terbawa angin, mencari sang ayah yang hingga sekarang tak pernah ditemuinya. 

Sejak saat itu, mereka hidup melayang-layang, saling mencari dan hingga saat ini tak pernah dijumpainya. Dan Siska sudah berpuluh tahun mencarinya dan tak menemui harapan berjumpa.

Hingga suatu ketika, Siska teringat diriku dan mencarinya di kota ini. Kota masa kecilnya yang bersahaja, yang tak pernah mengenalkan tentang nestapa dan lara. Kota yang selalu membuatnya ceria dan bersuka ria. Kota masa kecil dalam kenangan yang penuh bahagia. Kota dimana dapat ditemui puncak bukit dan telaga menyatu. Kota yang dapat melihat kemilau teja senja di balik dedaunan di puncak bukit yang hijau. Kota dimana senja di tengah laut, dapat dilihatnya dari balik tirai. Kota yang diimpikannya untuk selalu kembali.

Kota dimana terdapat telaga yang begitu bening airnya, dan di dasarnya terdapat istana. Kata Siska, di dasar telaga itulah tempat terakhir dia melabuhkan harapannya. Dia tak mau lagi melayang-layang berpindah dari satu kota ke kota lain tanpa harapan. Di istana di dasar telaga itulah tempat terakhir hidupnya. Dan dia percaya di dasar telaga itulah, tempat kekal nirwana.

Tiba-tiba harum melati begitu tajam menusuk hidungku. Tak terasa hari sudah semakin gelap dan kabut malam menutupi penglihatanku. Air telaga beriak lebih kencang, dan Siska menghilang. Tiba-tiba aku jatuh terjerembab. Pandanganku gelap....  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun