Mohon tunggu...
padmono anton
padmono anton Mohon Tunggu... -

saya adalah seorang petani desa di cianjur bagian selatan.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Apa Katamu?(4)

9 Januari 2011   00:47 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:48 220
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Kalau saya mau
jujur pada diri sendiri, dahulu ketika saya mendaftarkan diri untuk menjadi
suster, saya tertarik karena suster itu kelihatan suci dan dihormati oleh umat,
terutama keluarga. Keluarga akan kagum pada saya, dan akan menceriterakan itu
pada para tetangga dan kenalan. Tetangga dan kenalan akan menceriterakan hal
yang sama pada orang lain lagi. Begitu seterusnya.. Jarangkan yang menjadi
suster? Terlebih dalam keluarga besar saya, baru saya sendiri. Hebat! Tapi saya
yakin sekali, kalau motivasi yang ini saya sampaikan terus terang pada seleksi
penerimaan dahulu, pasti saya tidak akan diterima. Maka, seperti teman-teman,
saya katakan, ingin mengikuti Tuhan dengan cara khusus.

Oh ya..... cara khusus itu yang
bagaimana ya? Aduh.. memang bodoh aku ini. Bukankah ketiga kaul dan cara hidup
para suster itu merupakan cara khusus.
Mengapa hal itu tadi tidak terlintas dalam pikiranku? Kalau tidak salah
ini pernah diajarkan waktu saya di novisiat. Bukankah janji untuk miskin, taat dan murni itu membedakan suster dengan
orang lainnya? Dan bukankah kehidupan bersama dalam sebuah persaudaraan yang
merangkum orang-orang dari latar belakang yang berbeda-beda ini juga merupakan
cara khusus. Inilah yang belum saya sadari sungguh-sungguh.

Oh, Watik...
pertanyaanmu yang menyakitkan itu ternyata malah menyadarkan saya tentang
sesungguhnya siapakah aku dan tujuan hidupku. Aku bagaikan periuk yang sedang
dibentuk oleh sang tukang. Tanah liat
yang belum berbentuk, diaduk dengan air, diinjak-injak, dibanting, ditekan dan
kemudian dibentuk sedemikian rupa menjadi sebuah periuk oleh si tukang. Tentu,
kalau tanah liat itu bisa merasakan sakit, ia pasti akan berteriak-teriak
kesakitan. Tapi, akhirnya tanah yang diinjak-injak itu setelah menjadi periuk
sangat berguna bagi manusia. Begitulah sekarang, aku adalah tanah liat yang
sedang dibentuk oleh Tuhan untuk menjadi periuk, biar berguna bagi orang lain.
Oh... Watik, terimakasih! Baru saja aku membencimu setengah mati. Sekarang saya
malah merasa berhutang budi padamu. Tik, Tik... tunggulah saya besok, ya!"

Maria merasa
mendapat kekuatan baru untuk hidup. Ia bangun dan keluar menuju kamar makan.
Suster-suster lainnya sudah istirahat siang, dan ada yang kuliah. Ia makan
sendiri dengan berselera. Seolah-olah, ia belum pernah merasa segembira seperti
siang itu. Pada hal menu makan hari itu hanyalah gereh pethek
kecil-kecil (ikan asin), sambel terasi dicampur irisan petai dan jengkol, sayur
bening dari sejenis oyong, dan buah kedondong yang masih mengkal.

"Hai, Maria, kamu
sakit ya?" sapa seorang suster dengan tas putih menggantung di bahu kanannya,
yang memasuki ruang makan.

"Pusing sedikit.
Mungkin karena tadi kepanasan. Tapi sekarang sudah sembuh," jawabnya berhenti
makan sejenak.

"Tadi, pintumu
saya ketok-ketok. Karena tak ada jawaban, saya pikir sakit," kata suster itu
sambil berdiri memegangi ujung meja tempat Maria makan.

"Tidak. Sudah
sehat," tegas Maria dengan mengembangkan senyuman, lalu melanjutkan makan.

"Ya sudah. Saya
malah baru mau kuliah," kata suster yang belajar di fakultas Ekonomi itu.

"Sampai jam
berapa, Suster?" tanya Maria menatapnya.

"Jam lima. Ya..
cukup capai hari ini. Tadi pagi sampai jam sebelas. Yuk! Saya berangkat dulu,
Maria!" seru suster itu lalu melangkah keluar.

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun