Foto: aliexpress
Kami keluar dari teater 4 Imperium Cineplex di Pyramid Supermall berdesak-desakan dengan para penonton lain. Agak terhambat waktu belasan orang melewati pintu keluar yang tak terlalu lebar. Desy di depanku, aku setapak di belakangnya. Ingin aku memegangnya, menggandeng, merangkul, atau sekadar menaruh tangan di bahunya dengan gestur mesra. Tapi tentu saja tak boleh.
Atau belum, tepatnya. Menunggu satu hal kudu kulakukan terlebih dulu. Dan hal lain aku dengar darinya.
“Bagus nggak menurutmu, Bang Kritikus?” tanya dia kemudian, saat kami berjalan melintasi lorong menuju lobi teater.
“No comment,” sahutku datar.
“Loh, kok no comment?”
“Lapar. Butuh dinner.”
Desy tertawa. “Ayo, cari nasi!”
“Jangan di sini. Aku punya tempat favorit di alun-alun sana. Sate kambing muda yang mak nyus dan so juicy.”
“Hmm... sate ya? Pas aku udah lama nggak ketemu sate. Okay, let’s go!”
Dia melangkah lebih cepat, membelok menuju eskalator untuk turun dari lantai IV ke parkiran basement tempat dua motor kami terparkir.
Dan tentu, aku tak melepaskan pandang dari seluruh bagian belakang tubuhnya saat menemaninya memasuki telundakan berjalan.
Desy yang mungil, Desy yang kurus, Desy yang berwajah semanis gula Jawa. Aku mengenalnya dua bulan lalu di acara jumpa pengarang bersama Dee di Resto Spiegel, Jalan Pahlawan. Dia peserta, dan aku datang untuk meliput, mewakili media daring tempatku bekerja, Gi-Magazine. Lalu, sambil menunggu giliran antrean—dia mengantre fobar dan book signing, aku ngantre wawancara—kami ngobrol sana-sini.
Dan dalam hitungan menit, fokus kepentinganku berganti, dari Dee ke dia. Tadinya ngobrol dengannya untuk selingan sebelum giliran tiba. Lalu Dee mendadak jadi beban pekerjaan yang menganggu keasikan kami bicara north-to-south (ngalor-ngidul).
Suasana yang kondusif sudah pasti mengarah ke pertemanan lebih dalam. Dan itu berlangsung lancar. Kemudian pada satu titik, aku yakin aku tertarik padanya. Bukan oleh segala apa yang ada padanya, melainkan oleh kecocokan kami dalam berinteraksi. Get along very well, begitu ungkapannya dari bahasa Inggris.
Dan itu berlangsung dalam banyak hal yang sangat tak sama di antara kami. Desy kerja sebagai akuntan di sebuah perusahaan financial planner, aku orang media. Dia tak mudeng bola, aku sudah masuk kategori analis. Dia selalu tidur pukul 22, aku begadanger. Dia tertib, aku chaos.
Satu hal yang sama hanyalah dalam hobi baca. Lalu dia ingin menulis, tapi tak pede. Tentu aku dengan gagah menawarkan bimbingan—sekadar alasan agar bisa terus memperpanjang obrolan. Dan kegelisahan yang makin mendalam mendesak untuk diungkap—dalam momen berduaan di luar seperti sekarang ini. Untung dia tak pernah keberatan jika diajak jalan berdua. Ke toko buku Gramedia, perpustakaan kota, ketemuan makan, sebelum berpuncak pada jawaban “Ayo, kapan?” saat aku dengan deg-degan BBM dia dengan kalimat “Captain America main tuh. Mau nonton nggak?”.
Aku rasa, bahwa dia mau diajak nonton berdua saja sudah menunjukkan angin baik. Jadi tak grogi untuk membicarakannya nanti, pas di warung sate. Tempatnya tak romantis sih untuk penembakan, tapi biar sajalah. Yang penting satenya enak.
Dengan cepat kami tiba di parkiran basement mal. Motor kami terparkir tepat berdampingan. Tadi memang berangkat dari kantor masing-masing, langsung rendezvous di Coffee Drips dekat teater. Hanya saja, ada masalah. Desy gagal menstater motornya. Dan setelah membuka tangki bensin lalu menyorotkan lampu senter dari ponsel ke dalam tangki, ketahuan bahwa...
“Pantesan. Bensin abis,” gumamnya, berkacak pinggang, sambil masih lengkap memakai jaket, helm, dan masker.
“Indikator bensinnya mati?” sahutku.
“Iya. Sejak kemarin lusa. Masih susah mengira-ira bahan bakar berdasarkan intuisi.”
“Ayo, naik aja! Kita beli bensin, ntar balik lagi ke sini. Motormu parkirin lagi. Depan situ kan ada pom.”
“Oke.”
Dua menit kemudian, setelah mengantre di gerbang pembayaran, kami sudah keluar dari gedung besar mal Pyramid. Kuarahkan motor menuju kompleks perumahan Villa Gading di belakang mal. Ada jalan tembus lebih cepat lewat situ untuk menuju alun-alun, sekaligus melewati pom bensin yang kumaksudkan.
“Trus bensinnya ditaruh di mana ntar?” Desy membuka maskernya, agar bisa bicara lebih leluasa.
“Di botol akua, yang satu setengah liter. Sekarang kita cari botol kosong. Nah, di situ pasti ada.”
Kuhentikan motor di salah satu warung rokok kaki lima dekat mal. Aku menunggu di pinggir jalan, mengamati Desy bercakap-cakap dengan pemilik warung. Sesaat kemudian gadis itu balik lagi dengan menenteng sebotol air minum kemasan 1,5 liter yang masih terisi penuh.
“Yaah... kok botolnya masih penuh?” cetusku dengan dahi berkerut.
“Yang kosong gak ada. Udah dibeli tukang loak sore tadi, katanya. Aku beli aja yang full. Ntar airnya dibuang aja di dekat pom.”
“Jangan! Eman-eman. Masa buang air?”
Desy menatapku heran. “Lantas?”
“Ya diminum.”
“Edan! Mana bisa sekarang ini minum air segini banyak? Aku lagi nggak haus.”
“Kita bekerja sama berdua, dicicil. Pasti bisa.”
Desy mendesah. “Ya udah deh. Ayo, jalan!”
“Kita juga harus nyari torong.”
Desy batal naik ke jok belakang, menatapku heran.
“Apaan?”
“Torong, corong.”
“Buat apa?”
“Buat apa? Helooo...! Tentu aja biar ujung selang mesin pom bensin bisa masuk ke ujung leher botol.”
Dia menatapku seolah aku tahu-tahu berubah jadi marmut.
“Bukannya ujung selang pom itu kecil, lebih kecil dari leher botol akua?”
“Lebih gede. Pasti nggak muat masuknya.”
“Yakin?”
Aku mengangguk mantap. “Yakin.”
“Pernah isiin bensin ke botol akua sebelumnya.”
“Belum.”
Desy mendesah sedih, lagi. “Ya udah deh. Kita cari torong. Ayo!”
Kami maju beberapa ratus meter. Di salah satu ruas jalan kompleks perumahan, kami menemukan sebuah toko kelontong cukup besar. Kami berhenti dan mengungkap apa yang kami mau. Si bapak pemilik toko berkerut dahi mendengarnya.
“Torong? Orang jaman sekarang sudah jarang beli itu,” katanya. “Dulu banyak yang beli, waktu kita masih pakai kompor minyak, untuk masukin minyak tanah ke kompor. Sekarang nggak lagi setelah kita pakai elpiji ijo. Tapi coba deh, kayaknya di gudang masih ada stok. Tunggu sebentar nggak apa-apa ya? Masalahnya, harus dicari dulu.”
“Iya, Pak. Nggak apa-apa. Kita tungguin deh.”
Lalu kami duduk-duduk di kursi-meja di beranda toko, yang memang didesain untuk nongkrong pelanggan, meniru gaya Sevel gitu. Sembari menunggu, kami bergantian minum dalam rangka menghabiskan air di botol. Agak berat, tapi bisa. Sekitar setengah jam kemudian, air tinggal separo saat sang pemilik toko muncul berkeringat tapi berwajah lega.
“Nah, ketemu!” ia menggoyang sebentuk torong plastik warna merah ke arah kami.
Perjalanan pun diteruskan. Dan Desy mengomel panjang pendek karena tugas menghabiskan isi botol terbebankan sepenuhnya ke pundaknya.
“Awas ya. Kalau sampai besok aku kenapa-kenapa karena kebanyakan air, kamu tanggung jawab!”
Aku hanya ketawa.
Kami sampai di SPBU dengan cepat. Harus mengantre tiga motor di depan. Jeda waktu kumanfaatkan untuk membantu Desy minum. Tapi hingga motor tiba giliran, air belum habis. Petugas pom memegang selang dengan wajah lelah.
“Berapa?”
“Sepuluh ribu,” sahutku sambil sibuk minum.
Si petugas memencet tombol mesin dispensser, lalu membalik dan menatapku heran.
“Lah, dibuka dong sadelnya! Memang mau isiin ke mana?”
“Ini,” aku menggoyang botol yang masih sibuk kuminum.
“La ya mana? Malah asik diminum...!” si Mas mengomeliku sepertinya aku ini sepupu dia.
“Piye to? La kalau nggak diminum sampai habis kan nggak bisa buat nampung bensin.”
“Kenapa pakai diminum segala? Tinggal dibuang, habis perkara!”
“Nggak boleh buang-buang air. Mubazir. Dosa.”
“Astaga! Jadi dari tadi sampean itu ngglenggeng minum satu setengah liter cuman buat ngosongin botol?”
“Iya lah. Kok heran kenapa?” pas detik itu botol sempurna kosong, dan aku menghela napas sambil menyeka mulut pakai punggung tangan.
Si petugas menggeleng-geleng. “Amenangi jaman edan...”
Botol kosong kuulurkan, dan juga torong merah, yang kuambil dari Desy di belakang. Sang petugas menatapku heran. Menatap torong heran. Menatapku lagi.
“Masya Allah, Gusti paringana sabar! Itu buat apa pula, Mas?”
“Biar bensinnya bisa masuk ke botol dong. Mas-e ki aneh ik...”
Dia menatapku dengan muka datar. “Where have you been? Jupiter?”
Masih sambil menatapku, dengan santai dia memasukkan ujung selangnya ke botol. Cairan bensin mengalir lancar, memenuhi botol sedikit demi sedikit. Aku melongo.
Lalu yang kudengar hanya suara tawa keras Desy. Keras sekali. Orang-orang sepom bensin sampai menoleh. Aku menatap bloon torong merah di tanganku.
***
Mata batal terpejam karena layar ponsel menyala. Ada pesan masuk di WhatsApp. Dari Desy. Kenapa lagi dia itu? Katanya sudah mau tidur setengah jam lalu.
Kubuka pesan itu. Dia mengirim foto bergambar torong merah di atas kasur bersprei pink. Di bawahnya ada tulisan “Wakakak... dudul!”.
Aku tertawa pelan, tapi terlalu ngantuk untuk membalas. Besok saja.
Dan... oh, ya, tadi malah jadi terlupa untuk melakukan penembakan, karena mati-matian menghentikan Desy yang tertawa tak berhenti dari SPBU, parkiran motor di mal, sampai rampung makan sate, sambil terus menyebut-nyebut nama torong.
Ah, nembaknya besok-besok saja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H