“Lebih gede. Pasti nggak muat masuknya.”
“Yakin?”
Aku mengangguk mantap. “Yakin.”
“Pernah isiin bensin ke botol akua sebelumnya.”
“Belum.”
Desy mendesah sedih, lagi. “Ya udah deh. Kita cari torong. Ayo!”
Kami maju beberapa ratus meter. Di salah satu ruas jalan kompleks perumahan, kami menemukan sebuah toko kelontong cukup besar. Kami berhenti dan mengungkap apa yang kami mau. Si bapak pemilik toko berkerut dahi mendengarnya.
“Torong? Orang jaman sekarang sudah jarang beli itu,” katanya. “Dulu banyak yang beli, waktu kita masih pakai kompor minyak, untuk masukin minyak tanah ke kompor. Sekarang nggak lagi setelah kita pakai elpiji ijo. Tapi coba deh, kayaknya di gudang masih ada stok. Tunggu sebentar nggak apa-apa ya? Masalahnya, harus dicari dulu.”
“Iya, Pak. Nggak apa-apa. Kita tungguin deh.”
Lalu kami duduk-duduk di kursi-meja di beranda toko, yang memang didesain untuk nongkrong pelanggan, meniru gaya Sevel gitu. Sembari menunggu, kami bergantian minum dalam rangka menghabiskan air di botol. Agak berat, tapi bisa. Sekitar setengah jam kemudian, air tinggal separo saat sang pemilik toko muncul berkeringat tapi berwajah lega.
“Nah, ketemu!” ia menggoyang sebentuk torong plastik warna merah ke arah kami.