Rizal tersenyum. “Nggak papa. Dulu sempat patah hati. Kupikir dia cowokmu. Abis tiap hari jemput kamu pulang sekolah.”
Aku meremas tangannya. “Kan aku udah cerita, Dani selalu jemput karena rumahnya dekat. Kita tetanggaan udah lama.”
“Tapi dia bersedia jemput karena suka sama kamu kan?”
“Iya sih.”
“Kenapa nggak sama dia aja? Kayaknya dia baik, dan mau ngelakuin apa aja buatmu.”
“Ya kalau nggak ada feeling gimana aku bisa mikir yang ke arah sana sama dia? Dani sih udah pernah nembak sekali, dan kayaknya tetep bakal ngejar dan nunggu meskipun waktu itu udah aku tolak.”
“Nggak nyesel mengabaikan cowok baik kayak dia buat cowok kayak aku?”
Mata kami saling bertatapan. “Ya enggak lah. Kenapa harus nyesel?”
Rizal duduk tegak. Matanya beralih ke arah lain.
“Soalnya kami punya Azazel. Dan dia menginginkanmu.”
Dahiku berkerut. Sebagian karena nama asing itu, tapi lebih karena intonasi suara Rizal mendadak jadi berbeda.