Rizal mengangguk. Matanya fokus ke depan. Sejak belokan terakhir tadi, jalan yang kami lalui memang makin menyempit. Masih aspal, tapi yang kasar dan berlubang-lubang. Sekitar jalan hanya ada pepohonan lebat, mengapit ruas jalan yang hanya cukup dilalui sau kendaraan roda empat.
“Yang ini nanti semacam villa gitu. Mami minta ketemu di sana. Memang agak jauh di pedalaman. Masih kira-kira empat kilo lagi.”
Aku diam. Masih asyik memerhatikan suasana alam sekitar. Orang kota sepertiku memang gampang dibikin kagum oleh panorama serba hijau macam ini—sebagaimana orang dusun yang baru kali pertama menginjakkan kaki di mal.
Spontan jantungku berdegupan. Bukan karena grogi bakal bertemu camer untuk pertama kalinya, melainkan lebih karena semua fenomena anyar di sekelilingku. Tapi ya wajar juga sih kalau kita cemas dan was-was saat diajak pacar berkenalan dengan orangtuanya. Satu, ini pertanda hubungan kami bakal serius. Dan yang kedua, amat penting untuk memberikan kesan baik pada calon mother-in-law. Yang namanya restu bisa amat ditentukan momen kesan pertama ini nanti.
Kugelengkan kepala spontan. Ah, restu apaan sih? Mulai ngelantur nih Melody. Orang masih SMA juga. Mikirin restu-restuan kan kalau sudah jelas bakal segera nikah. Lah ini? Boro-boro nikah atau tunangan, dipeluk aja belum pernah.
***
Senja sudah nyaris turun sempurna saat Rizal turun dari mobil untuk mendorong pintu gerbang yang setinggi dua meter itu. Gerimis tercurah, membuat cowok itu harus melakukan semuanya secepat mungkin.
“Memangnya nggak ada pembantu atau semacam pengurus rumah di sini?” tanyaku saat Rizal sudah kembali masuk mobil.
“Lagi pulkam. Ibunya sakit. Makanya nanti kita harus masak sendiri kalau lapar.”
Mobil melintas masuk pekarangan. Kuamati situasi. Aneh betul. Pagar temboknya setinggi itu, tapi rumahnya kecil mungil. Mungkin hanya seukuran rumah tipe 36 di kompleks-kompleks perumahan. Dan areal tanahnya pun tak sebanding dengan dimensi bangunannya. Sepuluh rumah lagi mungkin masih bisa dibangun di sini, dan tak perlu berdesak-desakan. Rumah keluarga Rizal jadi seperti noktah tak berarti di tengah padang rumput luas. Sekitar rumah memang hanya berupa tanah berumput dengan beberapa tanaman pendek di sana-sini. Semuanya terawat, terpangkas rapi. Menunjukkan bahwa rumah itu ditinggali seseorang yang rajin.
Aku masih terheran menyaksikan situasi yang agak tak lazim ini sehingga untuk sesaat tak mampu berkomentar. Saat itu Rizal balik lagi ke pagar untuk menutup pintu besar. Kudengar ia mengancingkan gembok. Untuk apa harus dikancing segala? Tapi pertanyaanku langsung terjawab dengan sendirinya.