Ini di tengah hutan belantara. Barangkali ada hewan liar yang sering menyelinap masuk ke rumah warga, jadi tindakan preventif tentu saja sangat perlu.
“Ayo, masuk! Mami lagi otewe, mungkin bakal nyampai setengah jam lagi.”
Aku mengikutinya ke beranda. Rizal mengambil kunci dari saku celana, lalu membuka pintu depan.
“Rumahnya mungil amat. Kupikir yang namanya villa atau rumah peristirahatan di desa pasti bangunannya gede bertingkat.”
Rizal tertawa. “Iya. Ini bangunan aslinya, dan belum sempat direnov. Duduk dulu! Aku ke belakang sebentar.”
Aku duduk di sofa ruang tengah, tak jauh dari pesawat televisi. Kujangkau remote control untuk menghidupkan TV, menonton sambil lalu siaran berita mengenai penyesuaian harga BBM.
“Mau kopi?”
Aku menoleh. Rizal muncul lagi dari ambang pintu ruangan dalam. Entah karena pengaruh lampu atau ia baru saja cuci muka, wajahnya nampak jauh lebih segar dan putih.
“Boleh.”
“Oke. Aku baru saja manasin air,” ia duduk tepat di sebelahku. “Eh, cowok yang dulu suka antar kamu pulang itu siapa namanya?”
“Dani, Daniel. Mang kenapa?”