"Jangan lupa untuk saling berkirim kabar. Jika tidak dengan surat, setidaknya dengan doa. Karena doalah yang akan tetap menautkan hati kita satu sama lain. Paham anak-anak." Pak Guru Tomo menutup kelas.Â
_____
Setetes air mata terjatuh di atas kelopak bunga loseh.Â
"Maaa! Mamaaa!" Teriak nyaring seorang anak perempuan kecil. Dari ujung jembatan. Menyadarkan Fika untuk pulang. Sepertinya sudah cukup jauh dia melangkah. Itu anaknya, Gea. Bersama suaminya yang tersenyum melambai-lambaikan tangannya. Fika mengusap air matanya membalas lambaian itu. Ia berharap anaknya bisa bahagia bersama teman-temannya. Memanfaatkan waktu mengenal alam dan belajar menjaganya. Membuat cerita indah, bukan hanya tentang percintaan. Atau terjebak dalam pertemanan yang toxic, bahkan melakukan perundungan. Ia selalu berdoa akan hal itu. Mengingat betapa mengerikannya pergaulan anak-anak sekarang membuatnya begidik. Terlebih anaknya adalah seorang perempuan.
Besok, tugas suaminya sudah selesai. Fika harus kembali ke kota. Meninggalkan "Bendungan Bukit Besar" untuk kedua kali ...
Ditatapnya bunga loseh itu lekat-lekat. Dalam kepalanya, ia berpikir untuk menjadikannya oshibana saja. "Bagaimana petualangannya dengan kenangan 'itu'?" Tanya suaminya. Ia menjawab dengan senyuman. Mereka bertiga tersenyum. Bergandengan tangan. Kembali ke penginapan.Â
_____
Beberapa bulan kemudian, berdiri di tempat yang sama. Tiga lelaki. Menatap area bendungan itu dengan takjub.Â
"Kalau Fika disini, makin lengkap ya kita." Kata salah satunya yang kini berambut gondrong.Â
...... :) ......
.