Mohon tunggu...
Witri Nailil Marom
Witri Nailil Marom Mohon Tunggu... Lainnya - (Ruang khusus fiksi)

Hai, selamat membaca. Semoga Allah bahagiakan kita hari ini. Aamiin :)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bendungan Bukit Besar

10 November 2024   16:10 Diperbarui: 11 November 2024   23:58 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Dengar, ada bunyi stridulasi paling nyaring dari arah sana." Mono menunjuk gerombolan rumput teki. Berjalan ke arahnya dan menyibak-nyibak rumput teki itu tanpa aba-aba.

"Wah mentang-mentang tadi baru dapat pelajaran sriduluansi langsung dipraktekan. Hebat betul kau, No." Tris menepuk-nepuk pundak Mono dengan senyumnya yang menggelikan.

"Apalah kau Tris. Bukan sriduluansi. Begitu saja kau tak bisa ngejanya." Diksa menimpali.

"Lalu apa bacanya kalau begitu, Dik?"
Diksa menggaruk-garuk kepala. Reflek melompat. Cepat meraih jangkrik yang lepas dari tangan Mono. "Ah, kau sih Tris banyak bicara, lepas kan jangkringnya."

"Pandai mengalihkan isu saja kau, Dik. Kayak pejabat tinggi." Balas Tris tak terima disalahkan.

"Husss, tak elok menggibah orang atas. Nanti kalau kita kena karma jadi pejabat juga bagaimana?" Kata Fika, satu-satunya perempuan di antara mereka, yang sedari tadi mengamati pergerakan mencurigakan di antara rumput mutiara dan krokot sawah. Tak ada yang menjawab lagi. Semua terdiam. Menyisakan cengkerik jangkrik bersautan. Mereka menatap satu sama lain, dan kemudian tertawa.

____

Kenangan itu, dibawa kembali oleh hembusan angin. Menggetarkan hatinya. Mono, Tris, dan Diksa. Dua puluh lima tahun berlalu. Fika berdiri di tepian pembatas jembatan, menatap cahaya keemasan di ufuk timur. Memejamkan mata, dan membiarkan keringat lari paginya mengering.

'Aku menang No, Tris, Dik!' Gumamnya pelan pada diri sendiri.

Di hadapannya, terhampar air bendungan tak beriak. Memperlihatkan percikan ikan-ikan kecil yang melompat-lompat. Di sisi pinggirnya, tumbuh berderet seroja ungu yang mekar memesona dan burung-burung kecil berjalan di atas daunnya. Ia menyadari, bahwa semakin dewasa semakin ia menyukai bebungaan. Dan bersamaan dengan itu perasaannya menjadi lebih sensitif dan melankolis.

Dulu, ia senang sekali saat menggali tanah, menjungkir balikkan batu mencari cacing tanah dan memegangnya dengan tangan kosong, untuk kemudian menjadikannya umpan memancing. Atau mencari ulat dalam gulungan daun pisang dan menangkap monggo (laba-laba) dari sarangnya yang terangkai di antara ranting-ranting bambu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun