Mohon tunggu...
Witri Nailil Marom
Witri Nailil Marom Mohon Tunggu... Lainnya - (Ruang khusus fiksi)

Hai, selamat membaca. Semoga Allah bahagiakan kita hari ini. Aamiin :)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bendungan Bukit Besar

10 November 2024   16:10 Diperbarui: 11 November 2024   23:58 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Mereka saling melempar jawaban dalam diam. "Letss gooo!!" Teriak serentak pada akhirnya. 

____


Fika berjalan perlahan. Dilepasnya sepatu olahraga hadiah suaminya itu. Menuruni tangga pendek di sisi kanan di ujung jembatan, yang membawanya pada jalan setapak di pinggiran tanggul. Ia mengikut saja kemana langkah kaki akan membawanya. Menyusuri tanpa banyak tanya. Sengaja membiarkan kaki telanjangnya menyentuh rumput basah dan tanah berlumpur. Memunculkan kembali perasaan asyiknya bermain di sawah waktu kecil dulu.

Dalam daftar kenangan yang ia miliki, banyak kolase-kolase ingatan itu seperti mengabur. Orang-orang datang dan pergi bersama kenangannya masing-masing. Namun, tidak dengan kenangan semasa sekolah dasarnya dulu. Ia tak mengerti, mengapa begitu melekat dalam kepalanya. Bahkan  rasa dan aroma daun kentut-kentutan saat di tumbuk saja ia masih ingat jelas.

Pernah suatu waktu suaminya bilang, itu mungkin versi dirimu yang paling murni dan apa adanya. Fika mengangguk membenarkan, sebab sejak pergi dari desa itu, pikirannya adalah bagaimana menjadi yang 'terbaik'. Bukan, yang bahagia.

Langkahnya terhenti. Kupu-kupu kecil putih dan kuning berterbangan di hadapannya. Mengisap bunga-bunga loseh yang bermekaran. Ia terpatung beberapa saat. Betapa indah pemandangan itu.

Ia teringat, area itu dulu adalah jalanan setapak menuju sekolahnya yang pernah ia lewati bersama kawan-kawannya. Disana, mereka mencari emas-emasan (kepik emas) yang tersembunyi dalam bunga krangkungan. Mencari Bapak Pucung yang menempel di batang pohon kapuk. Mencari balalang sembah di sebalik daun waru. Atau segala hewan-hewan kecil di sesemak dan rerumputan liar yang mereka tak mengenal betul nama-namanya saat itu.

''Ini untuk Mono, ini untuk Tris, ini untuk Dika, ini untuk .... ini untuk ... ini untuk ...'' dipetiknya sebatang demi sebatang bunga loseh itu sambil menyebutkan satu per satu nama teman-teman seangkatan sekolah dasar-nya dulu. Semua ada dua puluh tujuh. Ia masih ingat betul. Kemudian dikaitkannya jadi satu dengan rumput belulang kering. "Dan tali ini, adalah Pak Guru Tomo." Katanya.
____

"Kau lapar Tris?" Tanya Mono.

"Enggak, No. Mana ada." Tris berkilah.

"Oo enggak yaa. Tadi sepertinya ku dengar ada suara geraman anaconda dalam perutmu." Fika dan Dika menahan tawa. Tris hanya nyengir menggaruk tengkuk.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun