"Lihatlah, jam pulang masih lama." Fika mengejeknya, menunjuk jarum jam di atas papan tulis. Â "Nikmati saja jam-jam kritis ini meski kelaparan." Tris hanya terdiam menunjukkan ekspresi cemberut.
Hari itu, ada tugas dari Pak Guru Tomo untuk membuat essai yang menjelaskan tentang diri sendiri, latar belakang serta cita-cita masing-masing.
"Kau mau jadi apa, Dik?" Tanya Mono.
"Entahlah. Ku rasa tidak ada bayangan apapun dalam kepalaku kecuali bermain dengan kalian." Jawab Dika tertawa yang membuat Fika dan Tris mengangguk dengan mantap. Tanda setuju.
"Kau sendiri, No?" Tanya Tris.
Mono terpekur beberapa saat. Dia adalah anak paling berada di antara mereka berempat. Bapaknya bayan desa. Seharusnya tak sulit menjadi apapun yang ia inginkan. Tapi, Mono tak menulis apapun di kolom cita-citanya. Dengan senyum yang ia paksakan, "Kita lihat saja nanti kalau sudah dewasa. Aku malas mikir."
Fika memeluk bahunya. "Bagus, nak. Lanjutkan. Asal jangan jadi beban negara aja ya." Mereka tertawa.
"Tapi, ..." kata Tris menunduk, menggantung omongannya. Membuat Dika, Fika dan Mono menoleh ke arahnya dan menunggu. Baru kali ini Tris terlihat serius. " ... siapapun kita kelak dan sejauh apapun kita pergi, yang pertama datang ke desa ini adalah pemenangnya. Setuju?"
Mereka bertiga ikut menunduk. Mereka tau, bahwa beberapa minggu lagi adalah hari kelulusan. Angkatan mereka adalah murid-murid terakhir yang harus diluluskan. Sebeba setelah itu, tak akan ada lagi SD N 01 Bukit Besar. Tak akan ada lagi Desa Bukit Besar. Tak ada lagi langgar Firdaus untuk mengaji dan jamaah. Tak akan ada lagi tanah lapang becek di tengah desa untuk bermain bola sepak, lomba tujuh belasan dan menonton layar tancap. Tak akan ada lagi tempat-tempat mereka menyembunyikan pisang mentah, ketela dan ubi rambat hasil upah ketika membantu di ladang. Semua akan diratakan dan dijadikan bendungan oleh pemerintah.
Semua warga akan pergi, dengan uang ganti rugi yang didapatnya. Mungkin ke kota, mungkin pergi kepada sanak saudara yang masih dekat jaraknya atau juga mungkin ke tempat yang sama sekali belum pernah mereka datangi. Entahlah. Yang pasti, mereka semua akan berpisah.
Kesedihan itu menyebar ke seluruh seisi kelas. Mereka semua menitikkan air mata. Menatap Pak Guru Tomo yang juga sudah berkaca-kaca matanya. Tak ada yang bicara. Sunyi yang menyayat hati. Hanya deru kipas angin tua yang memenuhi ruangan. Dalam kebisuan, lonceng tanda pulang sudah dibunyikan. Namun mereka tetap bergeming. Demakin deras air mengalir di pipi mereka.Â