[caption id="attachment_3863" align="aligncenter" width="484" caption="Van Groningen Met Liefde; Dari kiri ke kanan: Mamak, Gita, Opung; Foto oleh: Mas Yoyok"][/caption]
Bandara International Soekarno-Hatta terlihat sangat sibuk. Masing-masing orang di sana memiliki keperluan dan kepentingannya sendiri. Ada yang sedang mengantri check-in, ada yang sedang menunggu koper dan adapula yang sedang berpelukan sambil menangis mengucapkan selamat tinggal. Beragam aktivitas terjadi di bandara yang sangat sibuk di kawasan Tangerang itu.
Di antara kesibukan dan lalu-lalang orang-orang di bandara, ada seorang perempuan yang sedang menarik kopernya. Dia terlihat mencari-cari seseorang. Setelah mencari-cari, akhirnya perempuan itu menemukan orang yang dicari, satu orang perempuan dan seorang laki-laki. Mereka terlibat dalam sebuah dialog
“Mamak, Opung!! Gita sudah kangen. Gita sudah jadi Master!” kata perempuan itu sambil melepaskan koper yang dibawa dan memeluk dua orang tercintanya.
“Apa kabar kau, Gita? Sehat kau, Inang? Makin gemuk saja kau” kata perempuan yang tidak lain adalah Ibu Gita.
“Kau sehatkan, Gita? Opung juga kangen!” sahut Opung Gita dengan logat Bataknya yang kental.
“Gita sehat, Mak, Pung! Gita pingin segera sampai di rumah dan makan masakan Mamak!” jawab Gita.
“Ya sudah, ayo kita pulang!” Kata Mamak dan Opung Gita bersamaan.
Mereka bertiga akhirnya pergi meninggalkan Bandara Soekarno-Hatta. Mereka pulang ke Sumatra Utara. Gita yang sudah satu tahun meninggalkan Mamak dan Opungnya demi meraih gelar LLM, kini merasa sangat gembira berjumpa kembali dengan orang yang dicintainya. Namun, Gita merasa ada sesuatu yang hilang.
Sesampai di rumah, Gita kembali teringat dengan Jan, kekasihnya di Belanda. Hal itu membuat Gita melamun dan pikirannya melayang kembali ke masa satu tahun yang lalu.
***
Setelah melewati perjalanan panjang menggunakan pesawat Garuda nomor penerbangan GA-088, Gita sampai di Bandara Internasional Schipol di Amsterdam. Namun, dia masih butuh waktu 2,5 jam lagi untuk sampai di kota tujuannya, Groningen. Beruntung, Gita sudah mendapatkan petunjuk dari Perhimpunan Pelajar Indonesia Groningen (PPIG) mengenai jadwal kereta dan jalurnya. Akhirnya, Gita sampai di Centraal Station Groningen.
Gita turun dari gerbong kereta Nederland Spoorwagen. Sambutan pertama dia peroleh dari hawa dingin Groningen. Sebelumnya, PPIG sudah memberitahu Gita supaya selalu siap dengan jaket supaya dapat melindungi dari udara dingin. Dia pun segera mengenakan jaketnya sambil menunggu seseorang untuk menjemput. PPIG memiliki divisi Tim Penjemput (Timput) yang berfungsi menjemput mahasiswa baru Indonesia setiba di Groningen. Gita terlihat mencari-cari seseorang berwajah khas Indonesia. Namun, dia belum menemukannya.
Dia menengok ke kanan, pula ke kiri. Dia tidak memerhatikan orang-orang yang berjalan di sekitar stasiun. Hingga akhirnya, dia bertabrakan dengan seseorang laki-laki berambut berambut gondrong pirang.
“Maaf! Eh, sorry!” kata Gita meminta maaf kepala laki-laki itu.
“No problem. Are you waiting for someone? Where are you from?” tanya laki-laki itu.
“Yes, Meneer. I am waiting for my friend. I am from Indonesia!” jawab Gita
Tiba-tiba ada yang memegang tangannya dan bertanya
“Gita ya? Saya Nurul dari PPIG. Ayuk cepat. Bus kita lima menit lagi berangkat. Bus di Belanda sangat tepat waktu. Tidak seperti di Indonesia. Ayo, kita harus segera ke halte!” Nurul menarik tangan Gita.
Gita dan Jan pun berpisah tanpa tahu informasi nama dan alamat mereka di Groningen.
***
Sebagai mahasiswa yang baru datang ke Groningen, Gita mendapat bantuan dari PPIG, salah satunya berkaitan dengan keperluan seharian-hari dan belanja. Gita diantar dan diberitahu beberapa lokasi supermarket yang menyediakan kebutuhan sehari-hari.
Suatu kali, Gita berbelanja di Albert Heijn bersama dengan Ana. Di Albert Heijn, Gita diantar berbelanja kebutuhan sehari-hari. Selesai mengambil barang-barang yang hendak dibeli, Gita menuju ke kasir dan membayar. Kasir yang menggunakan bahasa Belanda itu bertanya ke Gita apakah akan dibayar dengan uang tunai atau dengan kartu. Gita menjawab “Yes”. Sekali lagi Gita ditanya dengan pertanyaan yang sama, tetapi Gita menjawab “No”. Kasir itu terbengong-bengong.
Hingga muncullah seorang lelaki yang berambu pirang. Jan tiba-tiba muncul di belakang Gita sambil menenteng beberapa bungkus roti. Jan kemudian memberitahu Gita kalau kasir itu bertanya apakah belanjaan Gita mau dibayar dengan uang tunai atau dengan kartu. Gita akhirnya tahu. Dia berkilah kalau kasir itu tidak bertanya tentang itu. Jan yang pasti jago berbahasa Belanda berkata bahwa kasir itu sudah bertanya 2 kali. Gita pun malu mendengar jawaban Jan. Gita lantas membayar dengan uang tunai . Setelah selesai, Gita berkata pada Jan bahwa dia menunggunya di luar.
Akhirnya, Jan pun keluar dari Albert Heijn. Gita sudah menunggu di luar.
Gita menyapa dan mengulurkan tangannya hendak berjabat tangan, “Halo, Meneer. My name is Gita. I am from Indonesia!”
Jan pun berjabatan tangan dengan Gita dan berkata, “Oh…my name is Jan. Indonesia? Saya bisa berbahasa Indonesia sedikit-sedikit. Opa saya dari Indonesia!
Gita pun terkejut dan senang. Meneer yang ada dihadapannya bisa berbahasa Indonesia. Gita menemukan teman yang baru. Mereka terlihat mulai akrab.
Mumpung ada teman yang bisa berbahasa Belanda, Gita meminta bantuan ke Jan untuk menemani membeli sepeda. Siapa tahu bisa dapat yang murah, demikian pikir Gita. Maka diapun bertanya ke Jan apakah mau menemani membeli sepeda. Jan pun bersedia. Setelah berdiskusi dan mencocokkan jadwal yang longgar, Jan dan Gita setuju untuk pergi membeli sepeda dua hari kemudian.
***
Gita dan Jan semakin akrab dan dekat. Suatu kali, Jan hendak mengajak Gita makan malam di sebuah cafe.
“Gita, saya mengajakmu makan malam” tanya Jan dengan bahasa Indonesia yang sedikit terbata-bata.
“Makan malam? Sama siapa saja? Atau berdua?” Gita malahan bertanya
Langsung Jan menyahut, “Hanya berdua. Ik en jou!”
“Oh mau banget Jan. Kapan?” tanya Gita riang
“Bagaimana kalau besok malam” Jan menawarkan hari untuk makan malam bersama
“Besok malam saya ndak ada jadwal. Oke, saya bisa! Dimana dan jam berapa?” Gita kembali bertanya
“Besok saja jemput jam 8 malam ya! Oke? Siap-siap dan dandan yang cakep!” jawab Jan
“Oke, Jan!” balas Gita senang
Merekapun akhirnya sepakat untuk makan malam. Keduanya sangat senang sekali. Mereka mempersiapkan diri agar tampil menarik dan tidak mengecewakan.
***
Tibalah malam yang ditunggu. Jan yang sudah berpakaian rapi menjemput Gita di housingnya. Gita pun juga sudah tampil sempurna. Mereka lantas pergi di sebuah kafe di kawasan Grote Markt.
Begitu sampai, mereka mencari tempat duduk. Pelayan kafe pun datang dan menyuguhkan menu makan malam. Sesudah memilih, sambil menunggu, mereka terlibat dalam perbincangan serius.
“Kamu cantik sekali Gita. Kamu senang makan malam denganku?” tanya Jan
“Terima kasih Jan karena sudah mengajakku makan malam. Aku senang sekali!” Gita menjawab pertanyaan Jan
“Aku boleh bertanya sesuatu?” tanya Jan
“Boleh saja. Tanya apa?” Gita penasaran.
“Aku suka sama kamu. Mau tidak jadi pacarku?” tanya Jan tegas
“Sejak bertemu pertama kali di stasiun, aku sangat senang sekali dan merasa bahwa aku suka sama kamu!” lanjut Jan
Gita tersipu malu. Wajahnya sedikit memerah. Dia belum menjawab.
Melihat Gita terdiam. Jan mengulangi pertanyaannya, “Gita, maukah kau jadi pacarku?”
“Kamu serius Jan?” jawab Gita pelan.
“Aku serius Gita. Ik hou van jou...I love you” Jan pun bangkit berdiri dan memberikan bunga kemudian memegang tangan Gita sambil memandang mata Gita.
Gita tidak bisa berkutik. Pria di depannya kini menatapnya dengan tajam, menusuk sampai relung hatinya. Dia menghela nafas, lalu berucap.
“Terima kasih untuk cintamu, Jan! Tapi...tapi...aku tidak bisa...aku tidak bisa...” Gita belum menyelesaikan ucapannya.
“Tidak bisa...?” Jan semakin penasaran
“Aku tidak bisa...Aku tidak bisa menolaknya, Jan! Aku juga sayang sama kamu!” Gita memegang erat tangan Jan, lantas Jan memeluk gadis yang berada di depannya itu.
***
Masa-masa bulan madu di Groningen sudah lewat. Kini Gita sudah disibukkan dengan kuliah dan tugasnya. Gita yang harus menyelesaikan program LLM di Groningen University selama 1 tahun, harus berjuang untuk mengikuti semua perkuliahan sekaligus persiapan thesis. Demikian pula Jan. Mereka yang semula setiap hari bertemu, kini jarang bertemu.
Suatu malam pulang dari kampus, Gita bersama teman-temannya nongkrong di Noorderplantsoen. Semuanya adalah anggota PPIG yang mengambil program yang sama dengan Gita. Karena mereka sudah lama tidak melihat Jan, teman-teman Gita bertanya tentang Jan.
“Eh Gita, di mana Jan? Sudah lama kalian tidak kelihatan jalan bareng” tanya Lusi, salah seorang teman Gita
“Iya, kami jarang bertemu. Kirim pesan SMS atau Facebook pun jarang dibalas. Mungkin dia sibuk dengan kuliah kedokterannya.” Ujar Gita sedikit memelas
“Kamu harus menelponnya!” usul Dinar, teman Gita yang sedang sibuk mengetik.
“Iya, kamu harus menelponnya. Coba sekarang ditelepon!” Lusi menimpali
Gita pun mengambil teleponnya dan menelpon Jan
Sementara itu di sebuah cafe. Jan sedang bersama-sama dengan teman-temannya. Mereka sedang menikmati bir sambil bergoyang. Jan tidak menyadari kalau Gita menelponnya. Dia masih saja menikmati botol-botol bir Amstel-nya. Salah seorang perempuan menariknya untuk berjoget. Jan pun turun dan mulai bergoyang.
Ketika sedang bergoyang, Johanna, salah seorang teman Jan, mengajak pulang karena merasa tidak enak badan. Jan yang baik hati itupun mengantarkan Johan. Karena mukanya pucat, Jan pun menggandeng tangannya dan kemudian berpamitan dengan teman-temannya yang lain.
Gita yang kesal karena teleponnya tidak diangkat Jan, mengajak teman-temannya pulang. Mereka menasehati Gita agar tidak perlu sedih sambil merasa sedikit bersalah karena bertanya tentang Jan. Mungkin Jan memang betul-betul sibuk.
Ketika mendengarkan nasehat teman-temannya itu, Gina melihat sosok laki-laki gondrong yang tengah menggandengan seorang wanita. Dia yakin itu Jan. Gita terus mempertajam pandangannya dan meyakinkan bahwa laki-laki itu Jan. Karena yakin bahwa laki-laki itu Jan, Gita pun mendekati kedua orang yang sedang bergandengan itu dan mereka terlibat perang mulut yang sengit. Teman-teman Gita mencoba menenangkan Gita. Tapi Jan dan Gita masih terlibat perang mulut hingga kemudian Gita mengucapkan “I hate you!” dan pergi meninggalkan Jan.
***
Gita ingin melupakan Jan dan fokus di kuliah dan thesisnya. Tinggal beberapa hitungan bulan, Gita sudah menyelesaikan program Master di Groningen University. Dia tidak ingin larut dalam kesedihan dan menangisi kisah cintanya. Dia harus selesai kuliah tepat waktu dan kembali ke Indonesia. Dia sudah sangat kangen dengan Mamak dan Opungnya.
Masa-masa akhir studi Gita berjalan dengan lancar. Thesisnya sudah selesai diuji dan menunggu wisuda. Sambil mempersiapkan wisuda, Gita juga persiapan untuk pulang kampung. Dia sudah memesan tiket pesawat ke Indonesia, oleh-oleh untuk Mamak dan Opungnya dan mengurus segala macam administrasi di Belanda. Gita sebetulnya masih ingat Jan. Tapi dia sudah lama tidak mendengar kabar meneer Belanda itu.
Jan merasa sangat sedih setelah perang mulut dengan Gita beberapa bulan lalu. Dia menyadari kalau dirinya yang bersalah. Jan sudah lama tidak mendengar kabar berita Gita, hingga dia tersadar kalau Gita seharusnya sudah lulus dan mungkinkah Gita sudah kembali ke Indonesia? Jan mencoba mencari tahu informasi dari teman-teman Gita. Kabar terbaru yang sampai di telinga Jan adalah Gita sedang menuju ke Groningen Centraal Station dan akan menuju ke Schipol.
Jan segera mengambil sepedanya dan mengayuh menuju Centraal Station. Jan parkir sepedanya dan berlari menuju ke peron mencari Gita. Tapi Jan tidak menemukan sosok Gita. Sepertinya Gita telah berangkat. Jan tertunduk lesu. Menyesali perbuatannya. Tapi mau bagaimana? Nasi sudah menjadi bubur.
***
Mamak dan Opung Gita merasa heran dengan sikap Gita yang pendiam. Mereka lantas bertanya apakah ada masalah yang sedang dialami oleh Gita.
“Apa yang sedang kau pikirkan, Gita? Sampai di rumah kok sepertinya sedih. Bukankah seharusnya senang?” Mamak Gita bertanya ke Gita sambil duduk di sebelah anak perempuannya itu
“Opung juga ikut sedih, Gita” tambah Opung Gita
“Tidak apa-apa Opung, Mak. Gita hanya ingat seseorang di Belanda. Namanya Jan. Dulu kami pacaran. Terus karena ada perselisihan, sampai sekarang kami tidak saling berkirim kabar” jawab Gita.
“Kamu punya pacar orang Belanda?” tanya balik Mamak Gita
“Kenapa tidak bilang. Mamakkan bisa punya cucu bule!” kata Mamak Gita sekenanya
“Kamu di Belanda punya pacar? Kan dulu Opung sudah bilang, jangan punya pacar dulu, apalagi bule. Fokus di kuliah” Opung Gita sedikit marah
“Sudah tidak apa-apa Opung. Gita sudah dewasa kok!” Mamak Gita membela.
Tiba-tiba ada suara pintu diketuk. Mamak Gita bangkit dan membuka pintu. Ada bule berambut pirang gondrong sudah berdiri di depan pintu. Mamak Gita langsung tahu bahwa dia adalah pacar anaknya.
“Siapa Mak?” tanya Gita
“Gita, ada bule. Ini pasti pacarmu!” teriak Mamak Gita
Gita kaget, “Jan? Jan sampai sini?”
Gita bangkit dan menuju ke rumah depan. Memang betul di sana ada Jan. Apakah ini keajaiban? Jan pun memastikan kalau laki-laki bule itu adalah Jan.
“Gita, Jan minta maaf ya setelah kejadian kemarin. Jan tidak akan mengulangi. Jan merasa hampa tanpa kehadiranmu Gita! Oleh sebab itu, Jan mencari informasi tentang rumah Gita dan memutuskan untuk menyusul Gita” kata Jan sambil meminta maaf ke Gita
“Jan...” kata Gita lirih.
“Maukah kau kembali kepadaku?Aku mencintaimu dan aku datang ke sini untuk meminangmu!” lanjut Jan meneruskan ucapannya.
Gita, Mamak dan Opung sangat kaget. Mereka tidak menyangka Jan datang jauh-jauh dari Belanda ke Indonesia hanya untuk menemui Gita, bahkan hingga meminang.
Gita tidak bisa berkata apa-apa. Cintanya memang untuk Meneer Jan. Gita tak bisa berkutik saat Jan menyematkan sebuah cincin di jari manisnya. Mereka lantas berpelukan. Mamak dan Opung Gita ikut larut dalam kebahagiaan Jan dan Gita.
n.b (nambah) : Cerita di atas adalah sebuah operet yang dipentaskan pada saat halal bi halal pelajar dan masyarakat Indonesia di Groningen pada hari Jumat, 23 September 2011. Saya berniat menceritakan ulang dan mendokumentasikannya. Sekitar 95% ide utama cerita dari para pemain dan koordinator operet, sedangkan sisanya saya ubah sesuai dengan ingatan. Acara tersebut terselenggara berkat kerjasama PPI-Groningen dan DeGroemist (Keluarga Muslim Indonesia di Groningen).
Sebetulnya, saya datang ke acara tersebut hanya ingin menjadi peserta, karena saya masih relatif baru di Groningen. Namun, salah seorang teman menciduk saya dan meminta membantu mengangkat dan menurunkan terpal untuk menutup panggung pada saat pergantian cerita. Jadilah kemudian, saya menjadi pengangkat terpal sambil menikmati operet Van Groningen Met Liefde.
Sukses untuk teman-teman yang main dan pendukung operet dan juga semua pelajar dan masyarakat Indonesia di Groningen. Sukses untuk kita semua.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H