****
Hari berikutnya telah tiba bagi Andrea untuk bisa melihat lagi. Dia sudah tidak sabar untuk melihat Sinta yang akan datang menjemputnya pulang. Perbannya sudah dilepas oleh perawat rumah sakit.
Hatinya berdebar-debar, penasaran bagaimana rupa Sinta, apakah dia seorang gadis yang mungil atau bagaimana. Apakah dia selalu tersenyum ketika dia terdengar bahagia dan senang.
Dan tidak lama setelah itu, Sinta datang dan bertemu Andrea di ruang tunggu rumah sakit. Awalnya Andrea tidak tahu kalau itu adalah Sinta yang menghampirinya.
“Sinta, itu kamu?”
“Andrea, iya ini saya Sinta temanmu.” Sambil menjawab dengan ragu. Dia merasa sedikit rendah hati.
“Kamu baik-baik saja Sinta? Kok kamu terlihat tidak seriang seperti dulu?”
“Saya baik-baik saja Andrea. Hanya saja saya tidak layak menjadi temanmu.”
“Loh mengapa engkau berkata demikian?” Tanya Andrea dengan segudang kebingungan dan penasaran.
“Andrea, tidakkah kamu lihat bahwa saya tidak memiliki tangan kiri?” Sinta bertanya seakan-akan ingin menekankan dirinya yang tidak sempurna.
Andrea melihat fisik Sinta dan memang dia menemukan kalau Sinta hanya memiliki satu lengan. Dia menghela dan menghembus nafas panjang tetapi tetap tenang.