Bel sekolah berdering, petanda jam bubar bagi anak-anak SD di mana Sinta bekerja sebagai seorang guru SD.
“Kami pulang dulu Bu guru Sinta.” Mereka bersama-sama pamitan dengan Sinta di ruangan kelas.
“Hati-hati di jalan. Ingat jika orang tua kalian belum tiba, tunggu mereka sampai datang menjemput.” Jawab Sinta sambil memberi nasihat kepada muridnya.
Di Sekolah Dasar Negeri itulah Sinta bekerja sebagai seorang guru, suatu pekerjaan yang luhur dan mulia. Dia memandang mereka sebagai generasi muda masa depan bangsa.
Dia mencintai semua muridnya sama rata. Hal itu ditunjukkan melalui ucapan, pikiran dan perbuatannya yang penuh kasih sayang. Dengan demikian, mereka yang polos juga mencintai Sinta sebagai guru mereka.
Kendati Sinta adalah seorang guru yang selalu sibuk dengan muridnya, dia juga berkeinginan untuk memiliki sahabat yang selalu ada untuk dirinya. Maka dari itu, dia memiliki beberapa sahabat pena.
Hanya saja bagi Sinta untuk mencari sahabat sejati adalah sulit. Setiap kali Sinta diajak untuk ketemuan alias kopdar (baca kopi darat), mereka tidak akan bertahan lama sebagai sahabatnya.
Sebut saja Budi, seorang pria yang ramah dan hangat dalam berkata-kata lewat surat menyurat. Setelah sekian bulan menjadi sabahat pena, akhirnya mereka bertemu lalu menghilang entah kemana.
Kemudian si Lola, seorang wanita petualang yang menyukai kuliner keliling Indonesia. Sinta mengira Lola akan menjadi sahabatnya yang nyata tidak lewat surat menyurat lagi. Tetapi setelah mereka bertemu, Lola menghilang secara perlahan-lahan, meskipun tidak dalam waktu sekejap seperti Budi yang menghilang seolah-olah lari melihat hantu.
Demikian juga dengan Herman. Seorang pengusaha yang cukup mantap di bidang yang ditekuni olehnya. Bernasib sama, hilang begitu saja seperti ditelan bumi setelah mereka bertemu.
Sinta mengerti bagaimana perasaan mereka setelah bertemu dan teringat akan fisiknya. Teryata Sinta adalah seorang gadis yang hanya memiliki satu lengan. Dia kehilangan lengan kirinya sewaktu dia lahir.
Sinta hidup seorang diri, kedua orang tuanya sudah meninggal dunia ketika dia masih kecil. Dia dirawat dan diasuh oleh bibinya sampai dia lulus kuliah dan bekerja sebagai seorang guru. Inilah yang membuat dirinya merasa kesepian dan membutuhkan sahabat.
Setelah beberapa bulan berlalu, Sinta tidak memiliki sahabat pena. Tetiba ada yang ingin berkenalan dengannya sebagai seorang sahabat pena. Tentu saja Sinta sangat bahagia dan berharap dia akan menjadi sahabatnya yang sejati.
Dia adalah Andrea, seorang pria yang suka bernyanyi dan memiliki suara yang merdu. Makanya dia sering mengikuti kontes nyanyi dan sempat menjadi juara di berbagai kompetisi.
Sinta menyambut Andrea dalam setiap goresan tinta menjadi surat yang indah. Mereka berkenalan dan menceritakan pengalaman mereka masing-masing. Dan ternyata mereka klop satu sama lainnya.
Seperti biasanya, Sinta tidak menceritakan tentang fisiknya yang tidak sempurna. Dia takut jika Andrea akan meninggalkannya saat itu juga. Sinta merasa Andrea adalah seorang pria yang sangat baik dan jika Andrea harus meninggalkan dia, itu akan membuatnya merasa sangat kecewa dan sedih.
Setelah hampir setahun mereka menjadi sahabat pena, tibalah bagi Andrea untuk ingin bertemu dengan Sinta secara langsung.
Sinta menjadi sangat khawatir bagaimana jika Andrea melihat fisiknya yang tidak sempurna. Dia menjadi teringat tentang pengalaman pahitnya dengan para sahabat penanya yang hilang tanpa ada kabar sama sekali.
Kendati demikian, akhirnya mereka membuat janji untuk bertemu secara langsung. Mereka memilih sebuah cafe di mana suasana akan terasa lebih santai dan kasual.
Hari itu adalah minggu pagi, saat yang tepat bagi mereka untuk menikmati secangkir kopi hangat. Sinta tiba lebih awal di sana dengan perasaan yang cemas dan berdebar-debar.
Dia melihat keluar lewat jendela, ternyata Andrea diantar oleh seorang supir taxi. Dia heran mengapa supir itu menuntun Andrea masuk ke cafe.
“Andrea! Saya duduk disini.” Sambil melambaikan tangannya kepada Andrea yang baru saja masuk.
Andrea menoleh ke sumber suara dan melambai balik. Supir tersebut lalu kembali ke mobil setelah Andrea masuk ke dalam cafe.
Sinta sangat terkejut ketika dia melihat Andrea lebih dekat dengan matanya sendiri. Ternyata Andrea tidak bisa melihat. Ya alias buta!
Mereka akhirnya duduk dan memesan dua cangkir cappucino untuk mereka masing-masing. Sinta mencoba tetap tenang di depan Andrea yang terlihat agak sedikit bersalah. Andrea merasa seharusnya dia menceritakan tentang dirinya yang tidak bisa melihat.
Ternyata Andrea mengalami kebutaan saat dia remaja. Ada komplikasi diabetes pada kedua matanya yang membuat matanya tidak berfungsi dengan baik. Andrea juga kehilangan banyak teman yang disebabkan mereka merasa risih ketika berada di dekat Andrea.
Dia takut jika dia harus kehilangan Sinta, sahabat penanya yang sangat baik hati dan selalu riang.
“Sinta, maafkan saya yah. Saya seharusnya kasih tahu kamu kalau saya tidak bisa melihat.”
“Tidak apa-apa Andrea, kita kan teman baik.”
“Terima kasih Sinta, kamu sangat baik sekali mau menerima keadaan saya. Saya sebenarnya takut jika saya kasih tahu kamu lebih awal, kamu gak akan bersedia menjadi sahabat pena apalagi untuk bertemu.”
“Iya saya mengerti Andrea.”
Ada rasa bersalah di benak Sinta. Dia tetap menutupi kekurangan fisiknya setelah dia tahu kalau Andrea tidak bisa melihat apalagi untuk melihat fisiknya!
Sinta lalu berpikir untuk memberitahu Andrea suatu saat nanti dan sekarang ini bukan waktunya. Itu dikarenakan dia belum siap, belum siap untuk kehilangan seorang teman lagi.
Mereka berbincang-bincang sangat lama sekali dan beberapa kali memesan kue dan berbagai macam minuman. Ada perasaan bahagia bagi mereka saat itu. Topik apa saja mereka bicarakan seperti bagaimana Andrea bisa membaca. Juga tentang hobi, pekerjaan sampai makanan dan minuman favorit masing-masing.
****
Setelah pertemuan mereka berdua di cafe tersebut, mereka menjadi semakin akrab. Sinta selalu saja lupa untuk memberitahu tentang lengannya yang hanya ada satu.
Sampai suatu saat, Andrea memberitahu Sinta bahwa dia akan menjalankan operasi bagi kedua matanya. Sinta sangat senang dan berharap untuk kesembuhan mata Andrea.
Namun Sinta merasa khawatir jika Andrea bisa melihat dan mengetahui fisik Sinta yang tidak sempurna, Andrea pasti akan meninggalkan dirinya dan apalagi Andrea akan menjadi seorang pria yang sempurna secara fisik dan sukses dalam menyanyi lagu-lagu indah.
Pikiran dan perasaan dia bercampur aduk, antara ingin melihat Andrea sembuh dan rasa takut yang menyiksa sukma. Bagaimana jika Andrea melihat fisiknya yang tidak sempurna lalu pergi menghilang?
Tibalah momen tersebut. Andrea mendapatkan operasi sesuai jadwal di rumah sakit ternama. Dia berada di sana cukup lama.
Kabar baik yang sudah ditunggu mereka menjadi kenyataan kalau operasi tersebut sukses. Tetapi perban penutup mata masih belum boleh dilepas dan harus diganti beberapa kali agar terhindar dari infeksi dan hal merugikan lainnya.
Dalam masa pemulihan di rumah sakit, Sinta selalu menemani Andrea. Dia selalu membawa makanan untuk Andrea. Saat-saat itulah yang membuat Andrea bersemangat dan bisa merasakan kebaikan Sinta.
“Sinta, terima kasih ya. Kamu baik sekali. Besok saya sudah tidak memakai perban sama sekali. Saya ingin sekali melihat matahari dan bulan, siang dan malam. Apalagi untuk melihat kamu Sinta.”
“Iya Andrea, saya juga ingin sekali agar kamu bisa melihat lagi. Tapi…” Sinta berhenti untuk melanjutkan kata tersebut. Dia tidak ingin Andrea kecewa.
****
Hari berikutnya telah tiba bagi Andrea untuk bisa melihat lagi. Dia sudah tidak sabar untuk melihat Sinta yang akan datang menjemputnya pulang. Perbannya sudah dilepas oleh perawat rumah sakit.
Hatinya berdebar-debar, penasaran bagaimana rupa Sinta, apakah dia seorang gadis yang mungil atau bagaimana. Apakah dia selalu tersenyum ketika dia terdengar bahagia dan senang.
Dan tidak lama setelah itu, Sinta datang dan bertemu Andrea di ruang tunggu rumah sakit. Awalnya Andrea tidak tahu kalau itu adalah Sinta yang menghampirinya.
“Sinta, itu kamu?”
“Andrea, iya ini saya Sinta temanmu.” Sambil menjawab dengan ragu. Dia merasa sedikit rendah hati.
“Kamu baik-baik saja Sinta? Kok kamu terlihat tidak seriang seperti dulu?”
“Saya baik-baik saja Andrea. Hanya saja saya tidak layak menjadi temanmu.”
“Loh mengapa engkau berkata demikian?” Tanya Andrea dengan segudang kebingungan dan penasaran.
“Andrea, tidakkah kamu lihat bahwa saya tidak memiliki tangan kiri?” Sinta bertanya seakan-akan ingin menekankan dirinya yang tidak sempurna.
Andrea melihat fisik Sinta dan memang dia menemukan kalau Sinta hanya memiliki satu lengan. Dia menghela dan menghembus nafas panjang tetapi tetap tenang.
“Sinta, jangan khawatir. Sejak mata saya tidak bisa melihat, saya selalu hidup dengan penuh rasa bersyukur, puas dan berterima kasih. Saya melihat semua manusia sama rata, tanpa perbedaan. Apalagi ketika saya mengenal dirimu. Kamu tidak keberatan untuk menjadi teman baikku selama ini meskipun saya tidak bisa melihat saat itu.”
“Tapi Andrea… saya seharusnya memberitahu kamu sebelumnya, saya tidak mau kehilangan teman seperti kamu.”
“Sinta, sekarang saya sudah bisa melihat. Dan yang saya lihat di depan mataku adalah seorang gadis yang baik hati, yang selalu menemani diriku di saat senang apalagi saat susah. Saya tidak melihat kekurangan dirimu, malahan saya melihat kebaikan dan ketulusanmu. Itu sudah cukup bagiku.”
“Maafkan saya Andrea.”
“Saya sudah memaafkan dirimu karena saya juga mengalami hal yang persis sama dengan yang kamu alami dan saya sangat mengerti semua itu.”
Setelah peristiwa yang mengharukan tersebut terjadi, mereka tetap menjadi teman, sahabat sejati.
****
Penulis: Willi Andy untuk Kompasiana
Mei 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H