Bapak Slamet: (memandang Larasati dengan penuh perhatian) "Apa masalahnya, Nak? Apakah ada sesuatu yang salah?"
Larasati: (dengan ragu)" Aku... aku ditempatkan untuk mengajar di desa Panenjoan. Itu desa yang terletak di atas bukit yang sangat curam dan jauh dari desa Pamuruyan."
Ibu Ani: (terkejut)" Oh, begitu ya. Itu jauh dari sini."
Bapak Slamet: (memikirkan dengan serius) "Bukankah itu akan sulit bagimu, Nak? Jaraknya jauh, dan naik turun bukit itu tidak mudah."
Larasati: (mengangguk pelan)" Iya, Bapak. Aku juga khawatir tentang itu. Tapi... (menghela nafas) aku ingin melanjutkan karirku sebagai PNS. Ini adalah kesempatan yang langka."
Ibu Ani: (memegang tangan Larasati dengan lembut) "Kami mengerti, Nak. Kamu harus mengambil kesempatan ini. Kami akan selalu mendukungmu."
Bapak Slamet: (berdiri)" Ya, Larasati. Kami akan membantumu menyiapkan segala sesuatunya. Kamu tidak sendirian dalam perjalanan ini."
Larasati: (tersenyum di antara tetes-tetes air mata) "Terima kasih, Bapak, Ibu. Aku berjanji akan memberikan yang terbaik dan membuat kalian bangga."
Semua berpelukan dengan penuh kasih sayang, siap menghadapi tantangan yang ada di depan.
Akhir cerita, dengan penuh kebahagiaan, Larasati melanjutkan karirnya sebagai guru di desa Panenjoan. Meskipun terpisah jarak sekitar 5 km dari kediaman Larasati di desa Pamuruyan, Larasati merasa bahwa dia telah menemukan kedamaian dan kepuasan dalam memberikan kontribusi bagi pendidikan di desa yang baru. Dengan dorongan dari orang tua, Bapak Slamet selama seminggu mengantarkan Larasati dengan berjalan kaki karena tidak ada kendaraan umum yang menuju Panenjoan. Dengan dorongan dan tekad yang tak tergoyahkan dari orang tuanya, Larasati tidak pernah menyerah. Larasati memandang perjalanan itu sebagai bagian dari perjuangannya untuk mencapai impian dan memberikan pendidikan yang berkualitas bagi murid-muridnya.Â
Tamat