Pendahuluan
Pendidikan adalah institusi sosial yang tidak hanya berfungsi sebagai sarana transformasi pengetahuan, tetapi juga sebagai arena perjuangan kekuasaan. Di satu sisi, pendidikan dapat menjadi alat untuk mempertahankan dominasi kelompok tertentu, sementara di sisi lain, ia juga memiliki potensi untuk menjadi sarana perlawanan terhadap struktur yang menindas. Artikel ini bertujuan untuk mengeksplorasi dinamika kekuasaan dalam pendidikan dengan menyoroti relasi antara dominasi dan perlawanan dalam konteks berbagai teori dan praktik.
Pendekatan teoritis yang mendasari diskusi ini mencakup pandangan kritis dari tokoh-tokoh seperti Paulo Freire, Pierre Bourdieu, dan Michel Foucault, yang memberikan landasan bagi analisis bagaimana kekuasaan diartikulasikan dan dipertahankan dalam pendidikan. Selain itu, artikel ini juga menggali implikasi dari relasi kekuasaan ini terhadap proses pembelajaran, kebijakan pendidikan, dan perjuangan emansipasi sosial.
Teori Kekuasaan dalam Pendidikan
a. Konsep Kekuasaan menurut Michel Foucault
Foucault memandang kekuasaan sebagai sesuatu yang tidak hanya berpusat pada individu atau institusi, tetapi juga tersebar dalam jaringan relasi sosial. Dalam konteks pendidikan, kekuasaan bekerja melalui kurikulum, aturan sekolah, dan praktik pedagogis yang membentuk cara berpikir dan bertindak siswa. Menurut Foucault, sekolah adalah salah satu "aparatus" yang menciptakan subjek patuh melalui mekanisme disiplin, seperti pengawasan, penilaian, dan hukuman.
Sebagai contoh, penilaian akademik dapat dilihat sebagai alat kekuasaan yang menstandarkan perilaku dan prestasi siswa sesuai dengan norma yang ditentukan oleh otoritas pendidikan. Hal ini menciptakan hierarki di antara siswa, yang pada akhirnya memperkuat struktur dominasi sosial.
b. Pendidikan sebagai Reproduksi Budaya: Perspektif Pierre Bourdieu
Bourdieu berpendapat bahwa pendidikan memainkan peran penting dalam mereproduksi ketidaksetaraan sosial melalui apa yang ia sebut sebagai "habitus" dan "modalitas budaya." Habitus merujuk pada disposisi kognitif dan perilaku yang dibentuk oleh latar belakang sosial seseorang, sementara modalitas budaya mencakup pengetahuan, keterampilan, dan simbol budaya yang dihargai oleh sistem pendidikan.
Dalam praktiknya, siswa dari kelompok sosial dominan cenderung memiliki modal budaya yang lebih sesuai dengan tuntutan sekolah, sehingga mereka lebih mudah meraih kesuksesan akademik. Sebaliknya, siswa dari kelompok marginal seringkali menghadapi hambatan struktural yang membuat mereka sulit bersaing secara adil.
c. Pendidikan Emansipatoris menurut Paulo Freire
Freire menawarkan pandangan alternatif dengan menekankan pentingnya pendidikan sebagai sarana pembebasan. Dalam bukunya, Pedagogy of the Oppressed, Freire mengkritik model pendidikan "gaya bank" yang memposisikan siswa sebagai penerima pasif pengetahuan. Sebagai gantinya, ia menganjurkan dialog kritis antara guru dan siswa untuk membangun kesadaran akan realitas sosial mereka dan memfasilitasi aksi kolektif untuk perubahan.
Dalam konteks ini, pendidikan tidak hanya menjadi alat untuk memahami dunia, tetapi juga untuk mengubahnya. Freire percaya bahwa pendidikan emansipatoris dapat memberdayakan individu untuk melawan ketidakadilan dan menciptakan masyarakat yang lebih egaliter.
Dominasi dalam Praktik Pendidikan
a. Kurikulum sebagai Alat Ideologis
Kurikulum seringkali menjadi alat ideologis yang mencerminkan kepentingan kelompok dominan. Konten pembelajaran yang diajarkan di sekolah cenderung merepresentasikan nilai, norma, dan perspektif yang mendukung status quo, sementara narasi alternatif seringkali dikesampingkan. Sebagai contoh, dalam banyak sistem pendidikan, sejarah nasional diajarkan dari sudut pandang penguasa, sehingga mengabaikan kontribusi kelompok minoritas atau oposisi.
Studi oleh Apple (2004) menunjukkan bagaimana kurikulum tersembunyi (hidden curriculum) bekerja untuk memperkuat nilai-nilai tertentu, seperti kepatuhan, kompetisi, dan individualisme, yang sesuai dengan logika kapitalisme. Hal ini menciptakan individu yang sesuai dengan kebutuhan pasar tenaga kerja, tetapi kurang kritis terhadap struktur sosial yang menindas.
b. Penilaian dan Standar Pendidikan
Penilaian standar sering digunakan untuk mengukur keberhasilan siswa, tetapi juga dapat menjadi alat dominasi. Sistem ujian yang homogen cenderung mengabaikan keragaman cara belajar dan pengetahuan lokal, yang membuat siswa dari latar belakang sosial-ekonomi rendah semakin terpinggirkan.
Sebagai contoh, penelitian di Indonesia menunjukkan bahwa Ujian Nasional (UN) seringkali lebih menguntungkan siswa di daerah perkotaan yang memiliki akses lebih baik ke sumber daya pendidikan dibandingkan siswa di daerah terpencil (Yulindrasari & Saraswati, 2019). Hal ini mencerminkan bagaimana kebijakan pendidikan dapat memperkuat ketimpangan regional dan sosial.
Perlawanan dalam Pendidikan
a. Pendidikan sebagai Sarana Kesadaran Kritis
Perlawanan terhadap dominasi dalam pendidikan dapat dimulai dengan membangun kesadaran kritis di kalangan siswa dan guru. Pendekatan ini melibatkan analisis mendalam terhadap struktur sosial dan ekonomi yang memengaruhi kehidupan mereka, serta pengembangan strategi untuk mengubah kondisi tersebut.
Salah satu contoh konkret adalah gerakan pendidikan alternatif di Brasil yang dipelopori oleh Paulo Freire. Program-program ini dirancang untuk memberdayakan masyarakat miskin melalui pembelajaran berbasis komunitas yang relevan dengan kebutuhan dan konteks lokal mereka.
b. Gerakan Sosial dan Pendidikan
Gerakan sosial sering menggunakan pendidikan sebagai alat untuk memperjuangkan hak-hak mereka. Misalnya, gerakan hak-hak sipil di Amerika Serikat pada tahun 1960-an memanfaatkan pendidikan untuk meningkatkan kesadaran tentang rasisme dan diskriminasi. Sekolah-sekolah komunitas didirikan untuk menyediakan pendidikan yang inklusif dan memberdayakan bagi anak-anak Afrika-Amerika.
Di Indonesia, gerakan pendidikan berbasis lokal, seperti Sekolah Alam dan Sekolah Hutan, juga mencerminkan bentuk perlawanan terhadap sistem pendidikan formal yang dianggap tidak relevan dengan kebutuhan komunitas lokal. Pendekatan ini menekankan pembelajaran berbasis pengalaman dan pengembangan keterampilan hidup yang sering diabaikan oleh sekolah konvensional.
Â
Implikasi Praktis dan Kebijakan
a. Reformasi Kurikulum
Untuk mengatasi dominasi dalam pendidikan, diperlukan reformasi kurikulum yang lebih inklusif dan responsif terhadap keragaman budaya dan kebutuhan lokal. Hal ini dapat dilakukan dengan melibatkan komunitas dalam proses perancangan kurikulum dan memberikan ruang bagi narasi alternatif dalam pembelajaran.
b. Pelatihan Guru
Guru memainkan peran penting dalam melawan dominasi melalui pendidikan. Oleh karena itu, pelatihan guru harus mencakup pengembangan keterampilan untuk mengajar secara kritis dan inklusif. Guru juga perlu didorong untuk menjadi agen perubahan sosial di komunitas mereka.
c. Kebijakan yang Berkeadilan
Pemerintah harus memastikan bahwa kebijakan pendidikan tidak hanya mendukung kepentingan kelompok tertentu, tetapi juga memberikan peluang yang sama bagi semua individu, terlepas dari latar belakang sosial, ekonomi, atau geografis mereka. Investasi dalam pendidikan di daerah terpencil dan program beasiswa untuk kelompok marginal adalah langkah-langkah konkret yang dapat diambil.
Â
Kesimpulan
Relasi kekuasaan dalam pendidikan mencerminkan dinamika yang kompleks antara dominasi dan perlawanan. Sementara pendidikan sering digunakan sebagai alat untuk mempertahankan struktur sosial yang ada, ia juga memiliki potensi untuk menjadi sarana emansipasi dan transformasi sosial. Dengan mengadopsi pendekatan kritis dan inklusif, pendidikan dapat menjadi wahana untuk menciptakan masyarakat yang lebih adil dan setara.
Â
Daftar Pustaka
Apple, M. W. (2004). Ideology and curriculum. Routledge.
Bourdieu, P., & Passeron, J.-C. (1990). Reproduction in education, society and culture. Sage Publications.
Foucault, M. (1977). Discipline and punish: The birth of the prison. Vintage Books.
Freire, P. (2000). Pedagogy of the oppressed. Continuum.
Yulindrasari, H., & Saraswati, D. (2019). Analisis dampak Ujian Nasional terhadap pendidikan di daerah terpencil di Indonesia. Jurnal Pendidikan dan Kebijakan, 12(1), 45-57.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H