Sehabis sallat maghrib, dia lanjutkan salat sunah dan berdzikir, kebiasaan  yang diajarkan ibunya  dan sudah lama tidak dijalani. Selama ini dia  larut pada kesenangan dunia yang membawanya menderita meskipun semua yang diingikannya ada.
"Assalamualaikum," sapa Gilang sepulang salat isya di masjid.
"Waalaikum salam," jawab mak Atun, Gendhis dan Latifa bersamaan. Ketiganya tampak heran dengan sikap Gilang, yang ramah, memakai sarung dan baju koko pulang dari masjid, sungguh di luar kebiasaanya. Apalagi dia mendekat ke arah mereka.
      "Sudah pada makan belum? Yuk kita makan bareng-bareng," ajak Gilang yang membuat ketiga wanita itu semakin keheranan.
      "Beneran kak? Kok tumben."
      "Emangnya enggak boleh kakak gabung," ucap Gilang
      "Boleh banget, Malah seneng kak, apalagi setiap hari!" seru remaja cantik itu sembari menuju meja makan.
      "Ayo, Mak Atun sekalian makan bareng!"  Gilang  melirik gadis berkerudung  yang sedang menunduk. Entah mengapa tiba-tiba jantungnya berdesir.
      "Kak  Tifa juga, ayo Kak," kata Gendhis bersemangat.
      "Maaf Gendhis, perut kakak sakit, kakak ke kamar dulu ya?" kata Latifa sembari berdiri berjalan menuju kamarnya.
      "Ya ... Kakak, tapi nanti tetep bisa ngajarin bahasa Inggris 'kan?"