Mohon tunggu...
widyastuti jati
widyastuti jati Mohon Tunggu... Dosen - Dosen UIN Salatiga

mengagumi keindahan alam dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Intan Lereng Gunung

1 Februari 2023   09:15 Diperbarui: 1 Februari 2023   09:21 552
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

            Setelah menitipkan Arif ke mertuanya, Siyamah berjalan menuju rumah Bu Lurah. Bu lurah yang memakai kain jarik kawung coklat dan kebaya ungu serta kerudung coklat tua sudah menunggu  di kursi bambu di teras rumah. Siyamah  mengenakan  bawahan warna hitam dan  baju batik seragam posyandu, kerudung warna senada. Dengan lincah dia menuruni undak-undakan dari batu menuju rumah Bu Lurah yang berpagar daun "teh-tehan".

            "Mangga Bu Lurah, pick upnya sudah nunggu di ujung jalan," ajak Siyamah yang merupakan sekretaris PKKnya Bu Lurah.

            " O iya mbak Siyam. Pak, saya berangkat PKK di kecamatan ya?" pamit Bu Lurah pada suaminya yang masih asyik dengan burung peliharaannya.

            " Ya Mak, hati-hati, " sahut pak Lurah tanpa menoleh .

            Dengan langkah cepat kedua wanita itu menuju colt pick up. Di bak bagian belakang sudah penuh penumpang, mereka akan belanja ke kota. Begitu melihat Bu Lurah dan Siyamah,  sopir turun membukakan pintu depan.

            " Mangga Bu Lurah, Mbak Siyam."

            "Maturnuwun Pak Man," ucap Siyamah sambil menolong Bu Lurah naik ke mobil. Mobil pun melaju menuruni lereng gunung yang jalannya terjal. 

            Seperti biasa setiap bulan Siyamah yang lulusan kejar paket B itu menemani Bu Lurah yang tidak bisa baca tulis  rapat PKK di kecamatan. Desa Siyamah ada di lereng gunung  sehingga kendaraan yang mengangkut penduduk berupa colt pick up  adanya pada jam-jam sekolah atau jam-jam emak-emak  belanja di kota.

            Meski tubuhnya kecil Siyamah sangat gesit dan rajin. Setiap kali menerima ilmu dari kecamatan dia selalu menularkan pada warga desa, lewat pertemuan PKK desa atau posyandu. Siyamah selalu "mengejar-ngejar" emak-emak di desanya untuk datang di pertemuan PKK  di balai desa, di mana dia dengan semangat menyampaikan  materi  dari kecamatan. Bu Lurah  mendampingi dan mendengarkan apa yang disampaikan Siyamah .

            Siyamah yang belum genap berusia duapuluh tahun itu tidak malu-malu berkonsultasi dengan Bu Camat menyampaikan kendala-kendala yang dia hadapi di desanya. Bahkan dia sering memohon kesediaan  Bu Camat  mendampinginya memberikan pengarahan atau memberi sosialisasi  mencegah pernikahan dini dan mencanangkan asi ekslusif

            "Di desa saya rata-rata lulus SD saja bu, malas meneruskan ke SMP soalnya jauh tempatnya. karena tidak sekolah, banyak   yang  nikah muda,"  cerita Siyamah

            " hampir tiap tahun ada ibu melahirkan dan balita yang meninggal karena kesadaran  tentang kesehatan  kurang, " lanjutnya.

            "Kalau TKnya sudah ada belum?" tanya Bu Camat

            "Belum bu, anak-anak langsung masuk SD."

            "Wah sayang sekali, usia dini adalah usia emas untuk dididik sehingga otak mereka bisa bekerja maksimal. Kalau begitu tahun ini saya usulkan agar bantuan pengadaan  Pendidikan Anak Usia Dini di desamu," kata bu Camat.

            "Siap Bu!" jawab Siyamah dengan wajah semringah. Sudah lama dia memimpikan di desanya ada sekolah TK.

***

 Berkat usulan dari Bu Camat , dana PAUD   bisa disalurkan di desanya. Dengan bimbingan, arahan dan bantuan petugas dari UPTD Dinas Pendidikan, cita-cita Siyamah terwujud. Pak lurah mendukung program dari Siyamah dengan menyediakan  ruang kosong yang ada di balai desa. Sedangkan gurunya adalah Siyamah, dibantu Surini yang telah memperoleh pelatihan dari Dinas Pendidikan.

            "Mbak, Siyam saya punya baju baju PSH dan batik yang sudah tidak muat kalau mau, besok pas rapat PKK diambil ya? Besok saya siapkan," kata bu Camat, diam-diam  memperhatikan  Siyamah yang selalu memakai seragam posyandu ketika rapat PKK.

            "Wah mau sekali Bu Camat, terima kasih," jawab Siyamah gembira.

****

Siyamah mematut-matut diri di depan cermin, hari ini adalah hari pertama dia akan mengajar. Baju PSH warna abu-abu dipadu kerudung senada pemberian bu Camat yang juga seorang pendidik, sangat pas di tubuhnya. Dia merasa percaya diri dengan baju itu, apalagi Bu Camat juga menghadiahi tas  kerja hitam, membuatnya benar-benar seperti seorang guru professional.

"Bagaimana Kang, penampilanku?" tanya Siyamah pada suaminya, seorang pekerja bangunan, yang selalu berangkat pagi pulang malam.

"Patut, tambah ayu," jawab suaminya  memandang istrinya dengan takjub. Tidak menyangka istrinya yang dia nikahi pada usia 17 tahun itu menjadi seorang  guru, tentu dia sangat bangga kalau ditanya teman-temannya.

"Istrimu kerja apa, Di?"

"Guru!"

"Pake ... pake ... minumnya tumpah!" Suara Arif membuyarkan lamunan. Dia segera mendekati anak semata wayangnya yang berusia tiga tahun.

"Waduh lain kali hati-hati, Nang," ucap Hadi sembari menyeka baju Arif yang terkena tumpahan air minum. Sementara air yang tumpah di lantai, langsung terserap oleh tanah.

"Piye to Kang, ngawat-ngawati anaknya sebentar kok tidak becus!" Siyam pura-pura marah.

"Habis ngliatin kamu  terus Yam, jan ayu tenan," goda Hadi sambil tertawa, Siyam ikut tertawa sambil mencubit lengan suaminya yang  berotot.

***

 PAUD yang dirintis Siyam hampir menginjak satu tahun. Dengan dukungan Pak Lurah, Dinas Pendidikan dan Bu Camat, Paud semakin berkembang dan mempunyai banyak kemajuan. Kesadaran masyarakat untuk menyekolahkan anaknya semakin tinggi. Arif, anak Siyamah yang sudah berumur  empat tahun ikut emaknya sekolah di PAUD.

"Yam, Arif sudah besar sudah saatnya diberi adik ya?" kata Hadi  sambil mengelus kepala anak laki-lakinya yang pulas tertidur di pangkuan emaknya.

"Tapi Kang Hadi harus siap dengan kesehatan dan pendidikan anak kita lho, mereka harus lebih maju dari bapak dan emaknya."

"Siap Yam, aku akan bekerja lebih keras dan semangat," jawab Hadi

"Kalau begitu besok diantar ke Bu Bidan, ya Kang," ucap Siyamah

"Ke Bu Bidan, kenapa?" tanya Hadi yang lulusan SD itu bingung

"Ya melepas IUD to Kang, kalau tidak dilepas mana mungkin punya anak," jawab istrinya.

"Ow ya. Aku tahu, siap siap!" Hadi  tertawa, mentertawai kebodohannya.

"Hush! Jangan keras-keras, nanti Arif terbangun," kata Siyam sambil melotot, membuat Hadi semakin merasa geli. Diacak-acaknya rambut hitam istrinya karena gemas.

"Kamu sudah siap lahir batin to Yam kalau punya anak lagi?" bisik Hadi seraya mengambil Arif dari pangkuan Siyamah, dan memindahkan di dipan buatan Hadi di kamar yang tidak begitu besar. Siyam mengikuti suaminya dari belakang.

"Siap Kang, memang sudah waktunya Arif punya adik."

"Maturnuwun  yo Bu Guru ayu."  Hadi memijit hidung istrinya yang sudah ada dipinggiran dipan, direngkuhnya tubuh mungil istrinya di dadanya yang bidang. Seperti biasa pasangan itu selalu menikmati malam-malam indah di rumah yang sangat sederhana mereka, diiringi musik jangkrik dan katak yang bersaut-sautan  menyambut datangnya sang dewi malam.

                                                ***

Hari ini adalah bulan ke tujuh, Siyam  mengandung anaknya yang kedua. Dia rajin kontol ke  bidan,   yang datang dua kali dalam seminggu   di desanya.  Siyamah tetap semangat menemani rapat Bu Lurah ke kantor kecamatan dan seperti biasa dia  menyampaikan materi yang dia peroleh di rapat PKK desanya meski perutnya makin membuncit. Siyam juga masih semangat mengajar, tanpa merasa letih, semua dikerjakan dengan gembira. Di rumah dia selalu melakukan tugasnya  dari mencuci pakaian, piring dan memasak. Untuk bersih-bersih kebun dan mengambil air, yang melakukan suaminya.

Seperti biasa, sehabis salat isya di mushola Hadi mendekati istrinya yang menidurkan Arif di kursi panjang. Setelah tidur nyenyak, dipindahkan anaknya di dipan kamar. Agak susah Siyam beranjak dari duduknya menuju dipan yang cukup lebar untuk mereka bertiga.

"Hati-hati, Yam" kata Hadi ketika melihat istrinya dengan susah payah naik dipan. Kemudian dielusnya perut istrinya yang semakin membuncit.

"Yam, aku ditawari bosku untuk kerja di kota kurang lebih dua bulan, bayarannya lumayan tinggi, tapi hanya boleh pulang dua minggu sekali," ucap Hadi seraya meletakkan kepala istrinya di dada bidangnya.

"Tidak apa-apa Kang, lumayan untuk persiapan lahiran anak kita," jawab Siyam tangannya merangkul dada suaminya meski agak  payah  memiringkan tubuh.

"Kita bersyukur ya Kang,  Arif bisa mengenyam PAUD, dia pintar sekali lho, semoga dalam waktu dekat ada SMP di desa kita, Sehingga Arif tidak usah jauh-jauh belajarnya."

"Iya, Yam. Arif harus pintar seperti kamu."

"Semoga kita mampu menyekolahkan Arif setinggi-tingginya sehingga bisa menjadi kebanggaan desa kita , alangkah senangnya jika SDM pemuda-pemuda di desa kita tinggi, tentu mereka bisa berpikir kreatif menggali potensi desa kita"

"Maksudmu apa Yam menggali potensi? " tanya Hadi lugu.

"Menggali potensi desa Kang, misalnya  desa kita dibuat desa wisata gitu."

"Untuk apa?"

"Artinya desa kita punya potensi jadi desa wisata, apalagi desa kita punya air terjun, kalau dikenal orang-orang tentu banyak yang berkunjung."

"Kalau banyak yang datang, terus kenapa?'

"Kan banyak yang beli jajan Kang, atau hasil bumi kita, jagung, ketela pohon, ketela rambat, sayuran bisa ditawarkan pada pengunjung, jadi tidak susah-susah membawa ke kota."

"Wah jan ... pinter tenan istriku iki," ucap Hadi  mempererat dekapan, melawan dinginnya malam di lereng gunung.

***

            Meski tidak didampingi suami setiap hari,Siyamah tetap menjalankan tugasnya dengan  gembira dan semangat. Suaminya datang setiap dua minggu sekali dengan membawa uang  banyak, membuat Siyamah bahagia karena persediaan kelahiran untuk anak keduanya lebih dari cukup.

 Siyamah  menyiapkan semua perlengkapan bayi di tas termasuk beberapa pakaian Arif waktu bayi  sudah dia tata di almari kayu buatan suaminya. Dia juga menitipkan uang pada mertuanya untuk "brokohan" dan selapanan anaknya.  Semua urusan posyandu, PKK desa, dan PAUD sudah dia bereskan, bahkan dia sudah berpamitan pada Bu Camat kalau mulai bulan depan tidak bisa ikut  rapat PKK kecamatan. Menginjak usia kehamilan ke 37 minggu, Siyamah mengurangi kegiatan, dia mengajak simboknya menemani untuk tidur di rumahnya . Kini Arif sudah terbiasa tidur dengan neneknya di "amben" yang ada di ruang tamu.  Untuk sementara Arif dipisahkan dengan emaknya, karena kalau tidur dia banyak bergerak, tendangan kakinya sering mengenai perut emaknya.

            Pukul dua malam tiba-tiba Siyamah terjaga, dia merasa perutnya sangat sakit .

            "Mbok!simbok!" panggilnya. Mendengar ada yang memanggil, simbok Siyamah segera bangun, beranjak menuju kamar anaknya.

            "Ada apa Nduk??" tanya simbok.

            "Perutku sudah mules-mules, Mbok," kata Siyamah  meringis menahan sakit.

            "Waduh, simbok terus gimana? Simbok minta tolong Lik Pon memanggilkan Mbah Dukun ya?" kata simbok cemas sambil berlari keluar rumah memanggil tetangga sebelah. Sementara itu perut Siyamah semakin cepat jarak sakitnya.

            "Mbok panggil Bu Bidan saja," rintih Siyamah ketika simboknya masuk rumah, dan mendekatinya.

            "Bu Bidan kan jauh Yam, sementara Mbah Dukun dulu yang dekat. Nanti biar Lik Pon  nyuruh orang yang punya motor jemput Bu bidan," ucap simbok  sambil mengelus-elus perut besar Siyam..

            Ketika mbah dukun datang, ternyata ari-ari Siyamah sudah lepas dahulu sebelum bayinya lahir, Mbah Dukun segera menolong Siyamah yang kesakitan melahirkan anaknya. Sementara Lik Pon sudah menyuruh keponakannya yang punya motor menyusul Bu bidan yang rumahnya  jauh. Akibat ari-ari yang lepas, Siyamah mengalami pendarahan yang hebat, Bu Bidan  terlambat datang. Ketika  Siyamah mau dibawa ke rumah sakit, di tengah perjalanan, Siyamah menghembuskan nafasnya yang terakhir. Sementara bayinya berhasil diselamatkan.

            Seluruh penduduk desa terutama emak-emak dan anak-anak kecil sangat terkejut dengan berita kematian Siyamah. Mereka sangat kehilangan sosok ibu yang dengan semangat berusaha memajukan desa. Tidak hanya penduduk Desa, Bu Camat serta tim Penggerak  PKK se kecamatan pun sangat kehilangan kader yang lincah,  semangat dan pantang menyerah itu. Semua menangis, semua kehilangan Siyamah. Tragisnya sepuluh hari kemudian bayi Siyamah menyusul ibunya, karena kurangnya pengetahuan dari mertua dan simbok Siyamah.

            Dan yang paling terluka dan menyesal adalah Hadi, dia merasa berdosa karena tidak bisa menjadi suami siaga. Seandainya waktu itu dia berada di rumah, dia pasti langsung membawa Siyamah ke bidan begitu mengetahui ada tanda-tanda melahirkan.  Ya, semua itu karena kebodohannya, ketidak tahuannya. Yang membuatnya semangat untuk bertahan hidup adalah Arif,. Dia teringat kata-kata terakhir Siyamah yang menginginkan Arif mendapatkan pendidikan yang tinggi. Hadi berjanji akan menjalankan pesan terakhir istrinya.

****

            Lima belas tahun telah berlalu,  dua lelaki kekar telah selesai berdoa dan menabur bunga mawar warna merah dan putih di atas dua  batu Nisan. Kedua laki-laki itu kemudian beranjak  meninggalkan dua batu nisan itu  menuju tempat yang agak tinggi. Sang Fajar mulai menampakkan diri. Sinarnya  yang hangat menerangi desa di lereng gunung ini, seolah mengiringi anak-anak  sekolah yang tampak riang gembira dengan seragam putih abau-abu, putih --biru, putih merah dan coklat kotak-kotak, seragam PAUD. Dengan  semangat mereka menuju tempat belajar masing masing. Anak-anak SMP tidak lagi jauh-jauh turun gunung untuk bersekolah, karena pemerintah telah membangun SMP Negeri di desa mereka. Sudah banyak anak-anak yang sekolah di SMA dan SMK, mereka bisa naik colt terbuka atau naik motor.

            Sementara PAUD yang terletak di balai Desa makin bersinar,  murid dan gurunya bertambah .  Hadi tersenyum bangga melihat gedung PAUD yang dirintis istrinya bisa berkembang dengan baik. Dan pemuda gagah  di sampingnya adalah Arif, yang berhasil lolos sampai akhir pada tes Bintara TNI AD tahun ini. Pagi ini ini Arif akan meninggalkan desanya menuju kota Jember Jawa Timur untuk mengikuti Pendidikan Sekolah Calon Bintara. Hadi sangat bangga dengan putra semata wayangnya yang telah memenuhi cita-cita emaknya  almahum, menjadi Pemuda yang berguna bagi nusa dan bangsa. Hadi sangat bahagia karena bisa menepati janji untuk menyekolahkan anaknya sampai jenjang yang tinggi.

            Fajar telah menyingsing dan bunga-bunga bangsa penuh semangat menapakkan kaki  untuk belajar dan meraih cita-cita. Mungkin hanya sedikit yang mengingat bahwa di desa ini pernah  ada seorang ibu yang gigih  berjuang untuk kemajuan para perempuan  dan Pendidikan Anak Usia Dini , dialah Ibu Siyamah. Intan dari lereng gunung.

Tamat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun