"Bagaimana Sari ?" Suara Indra memecah keheningan. Kutatap lelaki ganteng yang duduk tepat di depanku ini.
"Sari, seharusnya kita lebih dulu dari Fauzi dan Lilian. Apa yang harus kita tunggu lagi?" Kembali Indra Wibowo meyakinkanku.
Memang betul, apa lagi yang harus di tunggu. Indra sudah lama selesai menempuh pendidikan Akabri dan sekarang sudah bertugas di Jakarta. Aku sendiri walaupun masih kuliah tapi apa salahnya mahasiswi merangkap jadi ibu rumah tangga.
"Andai kau keberatan, bagaimana kalau kita tunangan saja dulu?" Tanya Indra.
Kembali kutatap Sang kekasih lalu aku tersenyum. Lalu Indrapun tersenyum. Lalu aku merasa Indra memelukku. Lalu ?
Pada pernikahan Lilian dan Fauzi itulah aku bertunangan dengan Indra Wibowo. Rencana pertunangan ini mendadak karena itu aku tidak sempat mengundang teman-teman kuliah di Yogya.Â
Wajar saja ketika aku kembali ke Yogya banyak diantara mereka yang menggerutu karena tak kuundang. Semula Papa hanya akan menikahkan adikku, namun rupanya Papa perlu juga mengkhawatirkan diriku.Â
Padahal dari awal aku sudah rela didului Lilian. Maka berlangsunglah pertunangan itu. Banyak teman-teman kuliahku yang mengatakan bahwa aku beruntung mendapatkan tunangan seorang Lulusan Taruna Akabri.Â
Apalagi Indra seorang lelaki yang jantan,ganteng, tinggi, tegap pokoknya selangit. Mendengar pujian-pujian itu akupun hanya bisa tersenyum dan tentu saja ada terselip rasa kebanggaan dalam hatiku.
Liburan semester ini seharusnya aku pergi ke Jakarta menjumpai Sang Kekasih. Tidak pulang ke Malang seperti apa yang kulakukan ini. Di rumah berkali-kali Papa menyarankan agar aku berlibur di Jakarta saja.Â
Begitu juga Lilian, adikku yang kini tinggal di Jakarta bersama suaminya. Tapi aku tetap memilih liburan di Malang. Aku tidak tahu mengapa pertunangan ini kurasakan telah mengikat kebebasanku.Â
Aku tidak tahu mengapa selama ini surat-surat Indra tak pernah kubalas. Aku tidak tahu mengapa aku harus acuh tak acuh kalau Indra menjengukku ke Yogya. Seharusnya aku bisa membayangkan bagaimana Indra jauh-jauh dari Jakarta hanya untuk melepas rindunya padaku.Â
Entahlah nampaknya aku masih menyukai kebebasan. Cincin tunangan yang melingkar di jari manisku inikah yang telah merengut kebebasanku? Â Entahlah yang jelas kini aku merasa seperti ada yang membelenggu kebebasan hatiku.
Tiga hari sebelum liburanku habis aku sudah kembali ke Yogjakarta. Hal ini kulakukan karena aku harus registrasi dan melunasi uang kuliah semester berikutnya disamping itu karena memang aku sudah jenuh dengan liburanku. Saat itu pada hari Sabtunya ternyata Indra sengaja datang dari Jakarta hanya untuk menjumpaiku di Yogya.
"Cukup menyenangkan liburannya?" Tanyanya. Aku hanya angkat bahu sambil tersenyum.
"Kuharap memang begitu. Bagaimana kabar Papa dan Mama?"Â
"Baik-baik." Jawabku pendek.
"Syukurlah. Aku sebetulnya ingin menyusulmu sekaligus ketemu Papa dan Mama. Sudah lama tidak bertemu, tapi tugas-tugasku semakin hari semakin banyak. Kupikir kau mau liburan di Jakarta. Aku tidak yakin kalau kau tidak tahu selama itu aku merindukanmu. Terlebih-lebih tak ada satu suratpun yang kau balas," Indra menjelaskan kekecewaannya terhadap sikapku selama ini yang selalu acuh tak acuh alias cuek bebek.
"Aku, aku lagi malas berbuat apa apa," kataku seenaknya.
Kulihat Indra masih tertunduk. Terbaca pada raut wajahnya perasaan kecewa, kesal, gelisah. Namun perasaan-perasaan tersebut tertutup oleh sikap sabarnya. Indra yang penyabar, Indra yang gagah, ganteng, Indra yang selalu penuh pengertian.Â
Rasanya tidak adil jauh-jauh dari Jakarta hanya kusambut dengan sikap acuh tak acuhku seperti ini. Kadang-kadang kesadaran itu timbul bahwa aku telah berbuat keterlaluan terutama disaat aku menatap punggung Indra, di saat Indra harus kembali ke Jakarta.
"Seharusnya kau tidak bersikap seperti itu," ini pendapat Tien, teman dekatku.
"Bukankah dia tunanganmu. Tentu saja dengan bersikap lembut dan mesra, dia akan sangat bahagia. Aku heran Sari, mengapa kau bisa bersikap seperti itu kepada tunangan segagah Indra. Sungguh tak bisa kumengerti," kembali suara Tien.
Memang betul apa yang dikatakan Tien, kuakui itu. Tapi dengan demikian aku bertambah tidak mengerti dengan diriku sendiri. Aku masih juga mengulang sambutan acuh tak acuhku setiap Indra menjumpaiku.Â
Entah mengapa begitu. Aku hanya merasa pertunangan ini telah merenggut kebebasanku. Cincin tunangan yang melingkar di jari manis ini demikian cantik tapi aneh aku tidak merasakan hal itu.
"Jika kau sudah berani bertunangan kau harus berani pula mengurangi kebebasanmu. Aku tak bisa membayangkan andai kau nanti sudah menjadi nyonya Indra, apakah kau masih ingin menuntut kebebasanmu? Pikirlah baik-baik Sari. Jangan terlalu sering mengecewakan dia." begitu pendapat dan nasihat Tien ketika kami ngobrol di Kantin kampus.
"Ya aku mengerti Tien. Sebenarnya saat itu aku belum mau bertunangan sebelum studiku selesai paling sedikit sampai aku meraih sarjana muda. Tapi itulah yang terjadi ketika Lilian mendahuluiku maka akupun tak bisa menolak keinginan Indra dan nampaknya Papaku pun setuju."Â
Tien hanya mengangguk sambil menghabiskan suapan baksonya yang terakhir.
"Kau mencintai Indra bukan?" Tanya Tien.
"Tentu saja!" Kataku.
"Kalau begitu mulailah bersikap seperti halnya kau mencintai Indra," kata Tien lagi. Aku diam dan Tien masih menatapku.
Di kamar itu aku masih termenung. Baru saja aku selesai membaca surat Indra. Peristiwa yang tertulis dalam surat itu benar-benar membuat perasaanku semakin resah. Surat itu masih kugenggam ketika perasaan cemburu menyelinap dalam relung hati. Aku seakan tidak percaya apa yang ditulis Indra dalam suratnya.Â
Dalam surat itu ia bercerita. Suatu malam Indra berkencan dengan seorang gadis. Indra mengenal gadis itu karena gadis itu adalah putri dari komandannya. Sudah tentu mereka akrab. Indra sering menemani gadis itu. Demikian Indra menulis dalam suratnya. Kucoba untuk menahan perasaan cemburu ini. Aku harus menghargai kejujuran Indra.
"Percayalah Sari. Aku cuma berteman. Dia menganggapku kakaknya, demikian pula aku menganggapnya adik,", kata Indra suatu sore ketika berkunjung ke Yogya.Â
Aku tersenyum pertanda aku mempercayai kata-kata Indra. Aku mengira kencan-kencan Indra dengan gadis itu tidak akan berbuntut panjang. Ternyata ceritanya bertambah menarik ketika orang tua gadis itu meminta kepastian Indra.
"Dulu juga ibu sudah bertunangan tapi toh nikahnya bukan sama tunangan ibu melainkan sama bapak sekarang ini." Ini adalah jawaban Sang ibu gadis itu ketika Indra mengatakan bahwa ia sudah bertunangan.
Kini aku harus mengambil keputusan yang tegas. Sebab kulihat Indra ragu-ragu mana yang harus dipilih. Aku menyadari posisi Indra oleh karena gadis itu adalah putri komandannya. Aku dengan tekad yang bulat akhirnya telah membuat keputusan yang penting.
"Sari! Mengapa harus begitu keputusanmu?" Tanya Indra.
"Kupikir selama ini Mas Indra lebih dekat dengan dia daripada denganku. Apalagi kini orang tua gadis itu meminta kepastian Mas Indra."
"Tidak Sari. Aku tidak setuju dengan keputusanmu. Kita harus jadi menikah."
Aku tersenyum pahit. Senyum ini kutelan dan apa yang telah kuputuskan tak pernah bisa berubah lagi.
Pernah Indra berniat keluar dari dinas ketentaraanya untuk menghindari gadis itu lalu menikah denganku. Tapi aku tetap pada keputusanku. Pertimbanganku adalah terlalu besar pengorbanan Indra jika hal itu dilakukannya sebab sekian tahun ia menempuh pendidikan Akabri adalah untuk meraih cita-citanya selama ini.Â
Entah berapa kali Indra menjumpaiku ketika aku sudah mulai bekerja di Bogor. Kesekian kali pula ia membujuk agar aku kembali kepadanya. Namun aku tetap pada pendirianku.Â
Keputusan ini kuambil tanpa setetespun air mata jatuh dari kelopak mataku. Aku sendiri tidak mengerti mengapa aku demikian tabah. Apalagi jika kuingat hampir 12 tahun aku membina cinta dengan Indra.Â
Rasanya seperti mimpi ternyata harus berakhir seperti ini. Kadang-kadang kesedihan melilit hatiku ketika aku ingat peristiwa-peristiwa manis dan indah bersama Indra.Â
Ketika ia pertama kali menciumku. Bagiku saat itu adalah ciuman pertama. Demikian indah dan manis. Kini aku hanya bisa tersenyum pahit. Papa dan Mama sangat terkejut mendengar berita itu sebab sebelumnya aku tidak pernah memberitahu putusnya hubungan pertunanganku dengan Indra. Setelah mereka tahu, sudah tentu mereka sangat prihatin atas kejadian yang menimpa diriku.
Bulan ini tepat hari jadiku yang ke-28. Sebuah ucapan ulang tahun dari Papa telah membuatku termenung. Ucapan tulus yang mampu melelehkan titik air mata di pipiku.Â
Papa berpesan bahwa aku harus mulai lagi memikirkan kehidupan pribadiku. Aku seharusnya tidak menutup diri. Papa ingin agar aku menikah sebelum Papa pensiun. Apa lagi adikku yang lain, Ratna telah pula mendahuluiku. Kurasakan kehangatan pelukan Papa malam itu.
Aku baru tersadar dari lamunanku. Semua yang terjadi itu adalah peristiwa empat tahun yang lalu. Namun rasanya seperti baru terjadi kemarin sore. Begitu cepatnya waktu berlalu.Â
Ketika salah seorang teman kantorku mengingatkanku bahwa jam kantor hampir usai maka kulihat jam ditanganku. Pukul 14.00 kurang 15 menit. Ini berarti tidak sampai setengah jam aku dapat menghadirkan kembali dengan utuh peristiwa yang terjadi empat tahun yang lalu.Â
Sementara itu tinggal 15 menit lagi jam kantor segera usai. Maka kubereskan buku-buku, kertas kerja, alat-alat tulis yang berserakan di atas mejaku. Aku segera berkemas untuk pulang  sebab aku khawatir Papa menunggu terlalu lama.Â
Benar saja di lobi itu ada Papa sudah menungguku. Dan seperti biasanya aku dan Papa selalu bersama-sama baik pergi maupun pulang dari kantor. Kini aku sudah tidak bekerja lagi di Bogor tapi pindah ke tempat dimana Papa bekerja. Sekaligus kini aku kembali berada di tengah-tengah keluarga.Â
Di tengah-tengah tentramnya sapa lembut Papa dan Mama. Kembali berada  di kota dimana masa laluku terawat rapi namun kini tinggal puing yang mustahil bisa dibangun kembali.
Pulang dari kantor seperti biasa  aku langsung merebahkan diri walaupun tidak sampai tidur. Walaupun begitu kepala ini masih terasa pusing. Tapi kupaksakan untuk bangun sebab aku ingat ini malam Minggu.Â
Tentu aku harus mempersiapkan diri untuk menyambut kehadiran Sang Kekasih. Kulihat Mama di ruang tengah sedang asyik membaca koran. Di sana tidak nampak Irna dan Riris, dua adik perempuanku yang masih kuliah. Mungkin mereka pergi berenang dan sampai sore ini belum kembali. Sedang Papa belum kembali dari tugas luar kota.
"Hai kau baru bangun sayang ?"Tanya Mama ketika melihat aku duduk di sisinya.
"Pening kepalaku!"
"Sebetar lagi sembuh. Kan ini malam Minggu."Kembali kata Mama menggoda. Aku berpura-pura cemberut. Melihat ini Mama malah tertawa.Â
Sudah setahun yang lalu aku mengenalnya. Terus terang saat itu aku tak pernah tertarik kepadanya. Seorang lelaki yang tidak terlalu istimewa malah terlalu biasa.Â
Mempunyai perawakan biasa. Umurnya dua setengah tahun lebih muda. Namun demikian aku mencintainya seperti halnya dia mencintaiku.Â
Kadang-kadang aku ragu mengapa aku tidak memilih Anton yang jauh lebih baik dari dia. Tinggi, atletis, gagah mirip Indra Wibowo atau Firman seorang sarjana pertanian yang bisa kubanggakan di tengah keluarga.Â
Atau Bayu, anak seorang pengusaha besar di kotaku. Entahlah, mengapa aku bisa mencintai dia. Padahal aku tahu, aku tidak bisa membanggakan dia didepan Papa, Mama, adik-adik seperti aku membanggakan Indra Wibowo. Apakah hanya karena dia yang mengusik diamku pada usiaku yang hampir senja ini? Apakah hanya karena dia lah yang selama ini berani mendekatiku? Mungkin pertanyaan-pertanyaan itu tidak akan pernah terjawab.Â
Ketika terdengar suara ketukan pintu kamar, maka buyarlah lamunanku. Lalu kulihat Irna masuk.
"Mbak Sari!. Itu Mas Indra sudah datang lho," kata Irna.
"Ya sebentar. Atau kau temani ngobrol dulu Ir, sementara aku ganti pakaian." Kataku.Â
Setelah selesai ganti pakaian, cepat-cepat kutemui Sang Kekasih.Di ruang tamu itu Indra sedang duduk menunggu. Melihat aku datang, dia tersenyum dan akupun tersenyum. Maka ruangan itu penuh dengan senyum.Â
Tentu saja lelaki yang duduk di depanku ini bukan Indra Wibowo. Dia adalah Indra Susanto. Indra yang sederhana. Indra yang tidak istimewa. Indra yang biasa-biasa saja, tidak pernah menarik. Indra yang tak bisa dibanggakan kepada siapapun.Â
Tapi juga Indra yang kucintai. Apakah hanya karena ia bernama Indra sehingga aku mencintainya? Satu pertanyaan lagi yang tidak akan pernah terjawab. Mungkin jawabnya persis sama ketika aku bertanya, apakah benar aku mencintai dia? Â Tepat pukul sepuluh lewat lima, seperti biasanya Indra Susanto berpamitan.
"Selamat malam Widyasari!" Ucapnya.
"Selamat malam!"
Lalu malampun hanyut dalam keheningan panjang dan tak kutemukan jawaban apakah benar aku mencintai Indra Susanto. Entah kemana aku harus menemukan jawabannya.Â
Bandung 5 Desember 2020Â
Penulis : Bunda Widya dan HensaÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H