Tentu aku harus mempersiapkan diri untuk menyambut kehadiran Sang Kekasih. Kulihat Mama di ruang tengah sedang asyik membaca koran. Di sana tidak nampak Irna dan Riris, dua adik perempuanku yang masih kuliah. Mungkin mereka pergi berenang dan sampai sore ini belum kembali. Sedang Papa belum kembali dari tugas luar kota.
"Hai kau baru bangun sayang ?"Tanya Mama ketika melihat aku duduk di sisinya.
"Pening kepalaku!"
"Sebetar lagi sembuh. Kan ini malam Minggu."Kembali kata Mama menggoda. Aku berpura-pura cemberut. Melihat ini Mama malah tertawa.Â
Sudah setahun yang lalu aku mengenalnya. Terus terang saat itu aku tak pernah tertarik kepadanya. Seorang lelaki yang tidak terlalu istimewa malah terlalu biasa.Â
Mempunyai perawakan biasa. Umurnya dua setengah tahun lebih muda. Namun demikian aku mencintainya seperti halnya dia mencintaiku.Â
Kadang-kadang aku ragu mengapa aku tidak memilih Anton yang jauh lebih baik dari dia. Tinggi, atletis, gagah mirip Indra Wibowo atau Firman seorang sarjana pertanian yang bisa kubanggakan di tengah keluarga.Â
Atau Bayu, anak seorang pengusaha besar di kotaku. Entahlah, mengapa aku bisa mencintai dia. Padahal aku tahu, aku tidak bisa membanggakan dia didepan Papa, Mama, adik-adik seperti aku membanggakan Indra Wibowo. Apakah hanya karena dia yang mengusik diamku pada usiaku yang hampir senja ini? Apakah hanya karena dia lah yang selama ini berani mendekatiku? Mungkin pertanyaan-pertanyaan itu tidak akan pernah terjawab.Â
Ketika terdengar suara ketukan pintu kamar, maka buyarlah lamunanku. Lalu kulihat Irna masuk.
"Mbak Sari!. Itu Mas Indra sudah datang lho," kata Irna.
"Ya sebentar. Atau kau temani ngobrol dulu Ir, sementara aku ganti pakaian." Kataku.Â