"Seharusnya kau tidak bersikap seperti itu," ini pendapat Tien, teman dekatku.
"Bukankah dia tunanganmu. Tentu saja dengan bersikap lembut dan mesra, dia akan sangat bahagia. Aku heran Sari, mengapa kau bisa bersikap seperti itu kepada tunangan segagah Indra. Sungguh tak bisa kumengerti," kembali suara Tien.
Memang betul apa yang dikatakan Tien, kuakui itu. Tapi dengan demikian aku bertambah tidak mengerti dengan diriku sendiri. Aku masih juga mengulang sambutan acuh tak acuhku setiap Indra menjumpaiku.Â
Entah mengapa begitu. Aku hanya merasa pertunangan ini telah merenggut kebebasanku. Cincin tunangan yang melingkar di jari manis ini demikian cantik tapi aneh aku tidak merasakan hal itu.
"Jika kau sudah berani bertunangan kau harus berani pula mengurangi kebebasanmu. Aku tak bisa membayangkan andai kau nanti sudah menjadi nyonya Indra, apakah kau masih ingin menuntut kebebasanmu? Pikirlah baik-baik Sari. Jangan terlalu sering mengecewakan dia." begitu pendapat dan nasihat Tien ketika kami ngobrol di Kantin kampus.
"Ya aku mengerti Tien. Sebenarnya saat itu aku belum mau bertunangan sebelum studiku selesai paling sedikit sampai aku meraih sarjana muda. Tapi itulah yang terjadi ketika Lilian mendahuluiku maka akupun tak bisa menolak keinginan Indra dan nampaknya Papaku pun setuju."Â
Tien hanya mengangguk sambil menghabiskan suapan baksonya yang terakhir.
"Kau mencintai Indra bukan?" Tanya Tien.
"Tentu saja!" Kataku.
"Kalau begitu mulailah bersikap seperti halnya kau mencintai Indra," kata Tien lagi. Aku diam dan Tien masih menatapku.
Di kamar itu aku masih termenung. Baru saja aku selesai membaca surat Indra. Peristiwa yang tertulis dalam surat itu benar-benar membuat perasaanku semakin resah. Surat itu masih kugenggam ketika perasaan cemburu menyelinap dalam relung hati. Aku seakan tidak percaya apa yang ditulis Indra dalam suratnya.Â