Mohon tunggu...
Widi Hatmoko
Widi Hatmoko Mohon Tunggu... Jurnalis - Menapaki Jejak

Menjadi “sesuatu” itu tidak pernah ditentukan dari apa yang Kita sandang saat ini, tetapi diputuskan oleh seberapa banyak Kita berbuat untuk diri Kita dan orang-orang di sekitar Kita.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pasar Thengok dan Manusia Tikus

11 Oktober 2019   07:07 Diperbarui: 11 Oktober 2019   07:30 13
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebenarnya, sepanjang perjalanan itu, tak begitu banyak yang saya pikirkan, apalagi tentang laki-laki ini. Kecuali menghayal, membayangkan segelas kopi hangat, lembaran-lembaran tempe mendoan yang gurih---makanan khas Banyumas---yang menggoda pikiran saya untuk segera mengunyah, sebagai pengganjal perut yang sudah keroncongan.

Tak lama pun, sampailah saya di jalan besar. Tepatnya di sebuah pasar pagi yang saya maksud tadi, yaitu Pasar Thengok. Seperti harapan saya sebelumnya, saya langsung duduk di sebuah warung kecil, di sebelah emperan toko sekitar pasar. Memesan segelas kopi hangat, dan menyantap lembaran-lembaran tempe mendoan yang gurih dan nikmat itu.

"Nyam..nyam..nyam. Hoooiik!" Sampai saya bersendawa, kekenyangan.

Tiba-tiba saya mendengar orang berteriak-teriak, "Nakum! Nakum!" Suaranya keras, menandingi VCD bajakan yang digeber sampai ke langit. Suara itu muncul dari mulut laki-laki gendut yang mengenakan celana komprang. Tak lamapun seorang laki-laki berkulit hitam, berambut lurus, dan berperawakan kekar menghampiri. 

Laki-laki ini adalah laki-laki yang saya lihat muncul dari tumpukan jerami, dan berjalan beriringan sejak memasuki desa Kedung Ringin. Ya, laki-laki yang tak terlalu penting dalam pikiran saya tadi.

"Kum, bawa barang-barang saya ke pinggir jalan raya, cepat!" Perintah si laki-laki gendut itu.

Laki-laki yang disebut sebagai Nakum itu mengangguk, bergegas tanpa kata. Berkarung-karung terigu, kardus serta beberapa belanjaan habis dipanggulnya.

Tak lama kemudian, suara yang lain menyusul dengan kalimat dan nada yang sama, "Nakum! Nakum!"

Kali ini seorang ibu-ibu dengan rambut digelung seadanya. Saya melihat ibu-ibu itu kepayahan membawa barang belanjaan.

"Kum?" Panggilnya " Bawa belanjaan saya ke depan jalan raya, cepat!" Lanjutnya.

Nakum pun mengangguk, bergegas---tanpa komentar---dengan tangkas belanjaan-belanjaan itu habis dalam panggulannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun