Sebenarnya, sepanjang perjalanan itu, tak begitu banyak yang saya pikirkan, apalagi tentang laki-laki ini. Kecuali menghayal, membayangkan segelas kopi hangat, lembaran-lembaran tempe mendoan yang gurih---makanan khas Banyumas---yang menggoda pikiran saya untuk segera mengunyah, sebagai pengganjal perut yang sudah keroncongan.
Tak lama pun, sampailah saya di jalan besar. Tepatnya di sebuah pasar pagi yang saya maksud tadi, yaitu Pasar Thengok. Seperti harapan saya sebelumnya, saya langsung duduk di sebuah warung kecil, di sebelah emperan toko sekitar pasar. Memesan segelas kopi hangat, dan menyantap lembaran-lembaran tempe mendoan yang gurih dan nikmat itu.
"Nyam..nyam..nyam. Hoooiik!" Sampai saya bersendawa, kekenyangan.
Tiba-tiba saya mendengar orang berteriak-teriak, "Nakum! Nakum!" Suaranya keras, menandingi VCD bajakan yang digeber sampai ke langit. Suara itu muncul dari mulut laki-laki gendut yang mengenakan celana komprang. Tak lamapun seorang laki-laki berkulit hitam, berambut lurus, dan berperawakan kekar menghampiri.
Laki-laki ini adalah laki-laki yang saya lihat muncul dari tumpukan jerami, dan berjalan beriringan sejak memasuki desa Kedung Ringin. Ya, laki-laki yang tak terlalu penting dalam pikiran saya tadi.
"Kum, bawa barang-barang saya ke pinggir jalan raya, cepat!" Perintah si laki-laki gendut itu.
Laki-laki yang disebut sebagai Nakum itu mengangguk, bergegas tanpa kata. Berkarung-karung terigu, kardus serta beberapa belanjaan habis dipanggulnya.
Tak lama kemudian, suara yang lain menyusul dengan kalimat dan nada yang sama, "Nakum! Nakum!"
Kali ini seorang ibu-ibu dengan rambut digelung seadanya. Saya melihat ibu-ibu itu kepayahan membawa barang belanjaan.
"Kum?" Panggilnya " Bawa belanjaan saya ke depan jalan raya, cepat!" Lanjutnya.
Nakum pun mengangguk, bergegas---tanpa komentar---dengan tangkas belanjaan-belanjaan itu habis dalam panggulannya.