Mohon tunggu...
Widi Hatmoko
Widi Hatmoko Mohon Tunggu... Jurnalis - Menapaki Jejak

Menjadi “sesuatu” itu tidak pernah ditentukan dari apa yang Kita sandang saat ini, tetapi diputuskan oleh seberapa banyak Kita berbuat untuk diri Kita dan orang-orang di sekitar Kita.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pasar Thengok dan Manusia Tikus

11 Oktober 2019   07:07 Diperbarui: 11 Oktober 2019   07:30 13
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apabila saya teringat, atau mendengarkan dari mulut seseorang tentang dua kosa kata yang menyebutkan nama tempat ini, imajinasi saya langsung menangkap sebuah peristiwa yang memukau hasrat dan perasaan saya untuk membagikannya kepada orang lain---yaitu tentang dua kosa kata yang berbeda tetapi masih ada hubungannya dengan dua kosa kata yang menyebutkan nama tempat yang saya maksud.

Coba perhatikan baik-baik. Jika kita menempuh perjalanan dari arah Bandung menuju Purwokerto, atau sebaliknya, kita bisa menemukan tempat di atas, tepatnya sekitar tujuh kilometer di sebelah timur Terminal Wangon. Di situ terdapat pasar tradisional. Buka setiap pagi, dan menjelang siang, atau sekitar jam sembilan mulai terlihat sepi.

Meskipun pasar itu terlihat kecil, namun pada waktu-waktu tertentu, jalanan di depan pasar ini memberi kontribusi cukup besar dalam menambah angka kemacetan di seantero tanah Jawa. Terutama saat-saat menjelang Hari Raya Idul Fitri. Pasar ini berubah menjadi pasar tumpah, dan kendaraan bisa mengular sampai puluhan kilometer.

Baiklah, saya akan memulai memaparkannya. Saya akan awalai dari salah seorang tokoh dalam cerita ini, yaitu seorang laki-laki yang berkulit hitam dan berambut lurus. Laki-laki yang kala itu berperawakan kekar dan gagah. 

Namun akhir-akhir ini tubuhnya nampak begitu layu. Guratan-guratan sekal pada kulit yang membungkus dagingnya pun mulai terlihat tipis, kisut, seperti kulit gayam---keriput.

Tak banyak yang tahu tentang apa yang ada dalam pikirannya memang, karena sepanjang hidupnya ia selalu tertutup dengan siapapun. Bukan lantaran sombong, atau tak mau bergaul seperti orang kebanyakan. 

Tetapi---memang begitulah---ia lebih punya naluri ketimbang otaknya untuk berpikir. Sehingga, curhat pun seperti menjadi suatu yang tak penting; yang ada hanyalah bekerja, bekerja, dan bekerja---meskipun hanya sebagai kuli panggul di pasar.

Untuk pertama kalinya saya melihat laki-laki ini; saat itu, usai saja wareng berteriak-teriak mendobrak pagi; semburat jingga merekah; seiring kedua telapak kaki saya yang menapaki bibir-bibir parit; di sawah-sawah pinggiran desa. Saya berjalan melewati jalan pintas, dari arah Pekuncen, memasuki Desa Kedung Ringin, Karang Benda, dan berbelok ke kiri, tepatnya ke arah barat.

Dari balik tumpukan jerami yang menjulang ke langit, dan masih basah oleh sisa embun malam, laki-laki ini muncul. Ia berbaur di antara saya, dan orang-orang pejalan kaki. 

Orang-orang yang dengan aneka bawaan dalam gendongan serta pikulan; sayuran, kerupuk, gula merah, dan beberapa ekor unggas. Di belakangnya masih ada beberapa orang lagi, terus sampai tak begitu terlihat jelas dari penglihatan saya.

Saya melihat laki-laki ini tak seperti orang-orang yang lain. Ia hanya melenggang, tanpa barang bawaan. Lalu berkelabat, entah kemana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun