*
Entah dari mana datangnya laki-laki Nakum ini, kok tiba-tiba saja ia sudah berada duduk tepat di samping sebelah saya. Dengan handuk putih yang sudah kumal kecoklatan, ia mengusap keringat yang mengguyuri tubuhnya. Sambil nongkrong, ia memantik korek gasnya. Lalu menyalakan sebatang rokok yang sudah diapit kedua jarinya.
"Klepuus..," begitulah mulutnya mengeluarkan gumpalan-gumpalan asap putih yang sengaja ia mainkan dengan lidahnya; membentuk bulatan-bulatan seperti cincin, lalu buyar dihempas angin, begitu dan terus begitu. Nikmat sekali sepertinya.
Baru saja segelas kopi itu diletakkan dihadapannya, tiba-tiba samar-samar telinga saya menangkap suara anak seekor binatang.
"Cit..cit..cit.."
"Cit..cit..cit..,"
Ehem, seperti suara bayi-bayi tikus. Ya, binatang yang menurut saya kecil tapi paling menjijikkan. Bukan saja karena bentuknya yang tak menarik, tapi juga mahluk yang selalu mengganggu serta mengusik kehidupan manusia. Tak pernah menanam, apa lagi ikut merawatnya, tetapi pada saat-saat menjelang panen, ia pula yang menggasak habis tanaman-tanaman itu.
Dasar tukus!!
Entah, dari mana arah suara itu? Karena sebelumnya saya tak mendengar suara apa-apa, kecualai suara VCD bajakan, orang-orang yang tawar-menawar barang, memanggil-manggil nama laki-laki itu, serta sendok yang berdenting beradu dengan gelas di tangan pemilik warung kopi. Atau, memang suara cemendil ini kalah tanding dengan suara-suara itu sebelumnya? Saya jadi bergidik.
Hiiiii..bayi tikus.
Saya mencoba bergeser sedikit lebih dekat ke arahnya, untuk menghindari suara itu maksudnya. Tetapi, malah semakin jelas di telinga saya.
Tiba-tiba, bola mata saya terbelalak, seperti hendak loncat keluar. Astaga! Ternyata binatang-binatang kecil kemerahan itu sudah berada digenggaman tangan laki-laki ini. Empat ekor. Ya, empat ekor.
Busyet! Gila bener! Nekat banget laki-laki aneh ini. Satu-persatu bayi tikus itu dijinjing dengan jarinya. Sambil mendengak ke atas, ia masukkan pula cemendil-cemendil itu ke dalam mulut, dan masuk ke dalam perutnya.