Mohon tunggu...
Widia Try Sundari
Widia Try Sundari Mohon Tunggu... Lainnya - Hallo!

Let's open the new page!

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Aku dan Hujan.

24 Februari 2021   03:22 Diperbarui: 24 Februari 2021   04:22 204
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dingin.   

Musim hujan telah datang. Gerimis membungkus pagi, turun tak berkesudahan sejak tadi malam. Aku mengurungkan niatku untuk membuka jendela, karena udara terasa sangat dingin. Aku sedikit mengintip keluar lewat jendela, butiran-butiran air menetes dan jatuh ke tanah. Aku merenung sembari terkesima. Dalam kesunyian, aku bersyukur. Sebuah anugrah Tuhan yang luar biasa masih menyapaku.   

Hujan. Begitulah orang menyebutnya. Bagi sebagian orang, hujan memiliki banyak manfaat. Bagiku hanya satu, tempat lari dari riuhnya dunia. Aku menganggap hujan sebagai sahabatku. Temanku menepi saat sedih, tempatku berbagi cerita. Ketika aku menangis, tidak satu pun orang tahu aku sedang menangis. Suara gemercik air membuatku merasa lebih tenang.   

Aku di sini. Menatap langit, yang semakin lama semakin gelap. Menatap awan hitam yang membayang disetiap sudut cakrawala. Aku terpaku menatap langit. Hanya diam, memandang langit yang sudah tak secerah tadi.   

Aku menguap lebar.   

"Ca, bangun. Masih daring, kan?" tanya Mama.   

"Iya ma, masih,"   

"Kok ga cepet-cepet bangun?" tanya Mama sekali lagi. "Iya bentar ma, ngelipet selimut ini bentar," jawabku.    

Seusai membenahi kamar, aku bergegas mandi menggunakan air hangat. Rasanya semua beban terlepas, kala aku menikmati hangatnya aliran air hangat di shower. Lega sekali. Lepas mandi, aku bergegas menggunakan seragam sekolah, bersiap di depan kamera laptop untuk mengikuti zoom.   

Selain sedang musim hujan, negaraku sedang dilanda pandemi, Covid-19. Orang menyebutnya Corona, sebab pandemi ini memang disebabkan oleh virus Corona. Banyak sekali dampak dari pandemi ini, salah satunya dengan keadaan sosial yang tak berjalan seperti biasanya. Ini terasa mendadak bagiku. Banyak orang merasa sangat bosan, tak terkecuali denganku juga.   Banyak pekerja yang terpaksa dihentikan, ataupun mereka dipekerjakan dirumah. Mungkin sektor ekonomi mengalami naik-turun. Selain banyaknya orang yang kehilangan pekerjaan, tingginya angka pernikahan dini. Sungguh, pandemi ini merubah segala aspek secara total menurutku.   

Tak terasa pandemi ini telah berlalu 6 bulan, aku tengah menginjak kelas 12 di bangku SMA. Semuanya terasa sangat membosankan, mulai dari yang biasanya sekolah bertemu banyak teman dan guru, bermain bersama teman-teman, beraktivitas olahraga pun dilakukan dirumah. Saat itu sangat tidak dianjurkan keluar rumah jika tidak memiliki kepentingan yang sangat penting. Apalagi menjadi seorang pelajar tugasnya hanya belajar, yang kutemui hanyalah wajah monitor layar laptop dan handphone. Kegiatan lainnya mungkin hanyalah makan, tidur, belajar. Sangat membosankan!   

Benar-benar membosankan. Seluruh kegiatanku dilakukan hanya dirumah saja. Hampir seluruh sudut rumah pun tak ada yang dapat ku lupa.   

Seluruh murid diwajibkan mengikuti zoom, sebuah video conference yang asyik menurutku. Di sekolah biasanya kami bertatap muka, semenjak pandemi sekolahku menggunakan aplikasi zoom ini. Perbedaannya ini melalui internet. Kami dapat berkomunikasi, saling bertanya, berinteraksi satu sama lain. Cukup asyik, bukan?   

Aku termasuk anak yang berprestasi di sekolah. Teman-temanku memanggilku Aca. Namaku Varsha. Mama bilang, namaku diambil dari bahasa sansekerta yang berarti 'hujan'. Karena aku lahir dikala hujan turun. Saat sebuah anugrah turun dari langit bersamaan dengan lahirnya aku ke dunia ini. Dunia yang penuh akan ekspresi, akan warna dan rasa. Mama ingin aku dapat sesejuk gemercik air hujan yang dapat menenangkan hati semua orang. Ditambah lagi dengan nama Sundari. Ya, nama lengkapku Varsha Sundari. Sundari berarti anak yang cerdas.   

Sebelum pandemi datang menghampiri, aku sering mengikuti kegiatan olimpiade Biologi. Entah itu olimpiade yang biasanya diselenggarakan oleh pemerintah, ataupun instansi swasta seperti di Universitas ternama. Tak hanya Biologi, temanku mengenalku ahli Bahasa Inggris. Aku selalu unggul dalam dua mata pelajaran tersebut. Tak aneh aku sering mendapat rangking 1 di kelas.   

Zoom usai. Aku bergegas mengganti seragam dan menggantinya dengan baju yang lebih hangat. Tak lupa Mama menyiapkan segelas sereal hangat untukku. Kala itu, hujan masih juga turun. 

How fast a night changes?   

We're only getting older baby   

And I've been thinking about it lately   

Does it ever drive you crazy? 

Just how fast a night changes?   

Aku berdiri didepan kaca, memastikan agar selalu tampil yang terbaik dari diriku. Selalu ingin menunjukkan versi terbaik dari diriku. Tak terasa, seorang Varsha yang dulunya sering merengek meminta balon telah menginjak usia 17 tahun.  

Hari ini rupanya cuaca cerah, berbeda dari cuaca kemarin. Hari yang sial, tampaknya laptopku terganggu. Aku akan pergi ke pusat elektronik hari ini. Kalender menunjukkan hari ini hari selasa. Karena aku terlatih mandiri sejak kecil, maka aku pergi ke pusat elektronik sendiri. Untuk absen, kali ini aku menitip pada teman sekelasku.   

"Ma, laptopku rusak. Keyboardnya gabisa dipencet, batrenya stuck di 99% nih,"   

"Yaudah bawa ke BEC, gih" balas Mama.    

Aku memutuskan untuk pergi ke BEC.   

Oh ya, BEC adalah singkatan dari Bandung Elektronic Centre. Disana lah pusat elektronik di Bandung berada. Jangan salah, walau harga di BEC ini dibilang lebih terjangkau, tapi kualitasnya tidak murah, bahkan tidak pernah gagal.   

Mama tidak bisa mengantarku sampai ke BEC sebab Mama pun mesti bergegas ke pasar. Lagi pula aku bisa sendiri. Sepertinya servis keyboard pun tidak memakan waktu sangat lama. Kami pun segera bergegas bersama.   

"Jaga diri baik-baik. Kalau ada apa-apa segera hubungi Mama." Ucap Mama saat bis telah berhenti di halte dekat pasar.   

"Baik, bos!" balasku.   

Aku menempuh berbagai lantai menggunakan ekskalator. Ku jumpai tempat servis laptop langgananku, Mas Rehan nama pemilik toko servisnya. Mas Rehan orang yang baik. Tangannya tak pernah mengecewakan. Ku percayakan seluruhnya pada Mas Rehan. Tak lupa menyisipkan pesan agar laptopku segera pulih di hari ini juga. Maka setelah kupercayakan laptopku pada Mas Rehan, ku putuskan untuk menunggunya di salah satu resto bakmi terenak bagiku, Bakmi GM.   

Aku mendapat pesan dari Mas Rehan.   

"Teh Aca, ini laptopnya kayanya mesti agak lama gapapa? Soalnya belum ada keyboard yang pas sama laptop teteh. Nanti kalau udah selesai dikabarin lagi ya, teh." Pesan dari Mas Rehan.   

"Okee mas, aku ke Gramedia dulu ya." Balasku singkat.

Tak terasa sudah aku mengelilingi sekitaran BEC, mulai dari makan di Bakmi GM, Gramedia, Ciwalk, dan Lotte Mart. Aku membeli beberapa barang yang aku suka, juga aku butuhkan. Saat aku berjalan menuju BEC, ada seorang laki-laki yang mengikuti langkahku. Aku merasa takut, kupercepat langkah kakiku menuju BEC. 

Tak lama kemudian, saat ia hampir saja merebut tas ranselku, ada seorang laki-laki bertubuh besar, mungkin usianya sebaya denganku. Orang yang hampir merebut tasku mengeluarkan sebuah senjata tajam, aku merasa sangat ketakutan. Tapi, laki-laki bertubuh besar ini melindungiku. Terjadi perkelahian antara jambret dan orang yang melindingiku ini. Si jambret akhirnya pergi, tetapi tangan laki-laki ini terluka akibat melawan senjata tajam yang dibawa jambret tadi.   

"Aarghh, sakit sekali," ucap laki-laki itu.   

"Maaf telah merepotkanmu, tanganmu terluka cukup parah. Bagaimana kalau ku antar ke rumah sakit terdekat?" ucapku padanya. Padahal dalam hatiku bergejolak sangat panik. Rasanya seperti menghadapi Hitler kembali lahir didunia ini.   

"Tidak apa-apa, lain kali kalau berpergian ajak temanmu. Jangan sendirian."   

"Iya. Aku terlatih kemana-mana sendiri, tetapi baru kali ini aku diikuti oleh seseorang."   

"Baiklah. Siapa namamu? Sepertinya kamu panik sekali. Aku tidak apa-apa kok, jangan terlalu risau."   

"Tidak bisa, kamu telah melindungiku. Masa aku diam saja? Oh ya, salam kenal, namaku Varsha. Kalau kamu mau, kamu bisa panggil aku Aca."   

"Aku Haga, 18 tahun. Kelas 12 di SMA Holic."   

"O-oh, SMA Holic." Sembari batinku bergumam: "SMA Holic kan SMA-nya orang menengah ke atas."   

"Ku tebak kamu pasti mengira aku anak konglomerat."

"B-bukankan memang begitu?" 

Tak terasa hujan turun. Banyak hal tak terduga terjadi hari ini. Aku tidak membawa payung.   

"Aku hanyalah anak dari seorang pembantu di sebuah rumah. Pemiliknya orang kaya. Tuanku sangat sayang padaku, sebab ia tak memiliki anak. Maka Tuanku memberi aku apa yang aku mau. Semenjak Ayahku pergi meninggalkan Ibuku, Ibuku bekerja di rumah Tuan. Tuan kebetulan sudah memasuki usia renta. Anaknya tidak lagi tinggal satu atap dengan Tuan. Maka, Tuan menyekolahkanku di SMA Holic. Akan tetapi, aku tetap berpegang pada prinsipku untuk selalu menganggap semua orang sama."   

"Ayahku juga telah meninggal, satu tahun yang lalu, Haga."   

"Kalau kita terbiasa hidup susah dari kecil, saat kita kelak mencapai titik kejayaan kita akan tetap bersikap biasa. Itulah hidup, banyak kejutan. Banyak hal yang terselip didalamnya. Beberapa kebahagiaan akan terselip juga beberapa kesedihan. Bahagia, sedih itu hal wajar dan manusiawi jika kita tertawa dan menangis."

"Kamu bersikap sangat bijak. Btw, terima kasih banyak atas bantuanmu. Lalu ini tanganmu bagaimana? Mari aku antar ke rumah sakit terdekat."   

"Sudah sedikit membaik, kamu sebenarnya mau pergi kemana?"   

"Aku akan mengambil laptopku di BEC. Mau ikut?"

"Aku harus pergi. Jika ingin berteman, temui aku di twitter. Hagamars."   

"Baiklah, tapi ini tanganmu?"   

Tanpa menjawab, Haga langsung pergi sembari berteriak: "Jaga dirimu baik-baik, see you!"   

Haga. Orang misterius! 

Lalu ku ambil laptop di Mas Rehan dan aku bergegas pulang. Hujan masih turun. Tapi aku mesti pulang, pasti Mama takut kalau aku pulang terlalu larut malam.   

Di dalam bis, aku melihat jalanan, rasanya begitu sejuk. Rasanya segala penatku hari ini terbayar setelah mendengar benturan air hujan dengan jalanan aspal. Dengan bertemunya aku dan Haga, aku bisa belajar bahwa tak semua orang bisa kita pandang dari hal yang menonjol dari dirinya saja. Mungkin ada sebuah perjuangan sangat besar yang diterpa olehnya. Tak semua buku dilihat dari covernya. Aku selalu memandang orang lain lalu membandingkannya denganku. Ternyata aku salah besar. Haga menunjukkan persepsiku salah selama ini. Terima kasih Haga!

Aku menatap langit, lagi lagi dan lagi. Guntur menggelegar. Terkadang aku berpikir aneh tentang hujan. Kejutan yang manis dan pahit. Hawa dingin mulai menusuk kulit. Semua kulalui bersama hujan. Aku tak ingin melupakan kenangan bersama hujan. Yang selalu membawaku terhanyut pada kesunyian. Hujan memang penuh kejutan!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun