Pada bulan Januari 2023, asosiasi genetika manusia terbesar di dunia, American Society of Human Genetics, meminta maaf atas peran anggota-anggotanya di masa lalu dalam mempromosikan rasisme, eugenika, dan bentuk-bentuk diskriminasi lainnya.Â
Janji dewan untuk melakukan yang lebih baik di masa depan didasarkan pada pemahaman historis mengenai masa lalunya. "Saatnya mempertimbangkan sejarah ini sudah lama tertunda," ujar presiden asosiasi tersebut, "namun ini merupakan fondasi untuk masa depan yang lebih cerah."
Pemahaman yang lebih mendalam tentang metafora dapat mempertajam pandangan ilmuwan terhadap ketidakakuratan atau distorsi.
Prasangka politik hanyalah salah satu dari berbagai sumber asumsi yang meragukan. Metafora dan analogi yang diciptakan untuk menggambarkan fenomena baru dan ide-ide yang baru muncul sering kali memperluas terminologi yang ada. Kadang-kadang, istilah lama seperti 'kecerdasan', yang awalnya berarti kecepatan pemahaman secara umum, diadaptasi untuk tujuan baru. Sebagai contoh, bagaimana Alfred Binet, Lewis Terman, dan psikolog abad ke-20 lainnya mendefinisikan 'kecerdasan intelektual' (IQ) sebagai pengukuran keterampilan verbal dan kuantitatif tertentu.Â
Namun, aplikasi ilmiah baru ini sering kali tetap membawa beban makna dari istilah lama: IQ dipandang setara dengan semua bentuk kecerdasan, dan altruisme disamakan dengan semua bentuk tindakan tidak mementingkan diri sendiri, dan pandangan ini tidak terbatas pada masyarakat awam saja.
Yang lebih penting, metafora yang menyoroti satu aspek fenomena tertentu---misalnya, 'kemitraan' untuk menekankan aspek saling menguntungkan dalam hubungan simbiosis antar organisme---dapat mengaburkan aspek-aspek penting lainnya. Dalam kasus ini, misalnya, metafora tersebut mengaburkan fakta bahwa lebih dari dua organisme mungkin terlibat dan bahwa hubungan tersebut dapat bersifat kompetitif maupun kooperatif.Â
Demikian pula, metafora terkenal Richard Dawkins tentang 'gen egois' telah membantu mempopulerkan pandangan George C. Williams yang berpusat pada gen tentang perubahan evolusioner, serta gagasan William Hamilton tentang kebugaran inklusif. Karya Dawkins mempromosikan pemahaman tentang bagaimana altruisme dan perilaku pengorbanan diri dapat bertahan dalam populasi sambil tetap konsisten dengan prinsip-prinsip inti evolusi yang berbasis pada persaingan dan perjuangan untuk bertahan hidup.Â
Namun, kekuatan metafora ini juga menyebabkan penekanan berlebihan pada seleksi alam dan mengalihkan perhatian dari mekanisme perubahan evolusioner lainnya, seperti kendala perkembangan. Pendukung "sintesis evolusi yang diperluas" telah secara meyakinkan berargumen bahwa pemikiran evolusi perlu diperluas melampaui model-model sederhana yang berfokus hanya pada gen dan seleksi alam.
Metafora lain---seperti alam sebagai mesin, otak sebagai komputer, DNA sebagai 'cetak biru'---sering kali mengeras menjadi asumsi-asumsi yang tidak kritis dan dapat menghambat pemikiran inovatif. Studi-studi sosial-ilmiah menunjukkan bahwa para ilmuwan sering kali tidak menyadari sejauh mana aktivitas mereka dibentuk oleh metafora dan analogi yang membatasi tersebut.Â
Pemahaman yang lebih mendalam tentang istilah-istilah kunci dan metafora yang membentuk komunikasi dan pemikiran ilmiah dapat mempertajam kesadaran ilmuwan terhadap titik-titik buta, ketidakakuratan, atau distorsi.Â
Faktanya, penggunaan berulang dan tidak kritis dari gambar dan metafora yang sudah dikenal, baik dalam kata-kata maupun pemikiran, dapat dengan mudah menjerumuskan mereka yang terlibat dalam pencarian pengetahuan ilmiah menuju distorsi, bukan pencerahan.