yup betul.
# Tanggapan pak Rifai:
wah anda ternyata di indonesia yang krisis referensi. punya muhammad maghfur kok dijadikan andalan, saya kira ibn rosyd adalah puncak filsafat islam. cobalah pahami karya-karyanya kalau anda ingin mengetahui kesalahan para mutakallimin yang cenderung terjerumus menjadi neo platonis, sekaligus kalau anda ingin tahu betapa dahsyatnya beliau hingga beliau lebih dulu terkenal di eropa ketimbang di ranah islam sendiri setelah beliau dikafirkan.
# Tanggapan Wida Nafis:
Pak Rifa’I,
Sedikit catatan tentang “Naqd al-‘Aql al-‘Arabi” nya M. ‘Abid al-Jabiri. Catatan ini kami ambil dari desertasinya Pak Nirwan Syarif “A Critique of Reason in Contemporary Arab Philosophical Discourse with Special Reference to Muhammad ‘Abid al-Jabiri”.
1. Inti dari kajian al-Jabiri, dia mengecam metode Bayani yang dikembangkan oleh para Fuqaha’ dan ’ulama Ushul Fiqh karena dianggap lebih mengedepankan teks dari pada substansi teks. Dalam konteks ini, Jabiri seperti Arkoun, Abu Zayd, dan Adonis, ”menyerang” Imam Syafi’i, kerena dianggap orang bertanggung jawab meletakkan dasar berpikir tersebut melalui karya monumentalnya, al-Risalah.
Sayangnya, menurut Pak Nirwan Syarif, Jabiri gagal memahami faktor teologis dan sosiologis yang mendorong umat Islam bersikap seperti ini. Dia seolah-olah sengaja melupakan posisi sentral dan kesucian al-Qur’an dalam sistem ‘aqidah Islam. Sebagaimana yang kita maklum, bahwa kaum Muslimin yakin bahwa al-Qur’an adalah Kalam Allah yang diturunkan secara verbatim kepada Rasulullah dan diyakini sebagai manifestasi dari “keinginan” (iradah) Allah pada makhluqnya. Maka wajar jika umat Islam selalu merujuk pada Kitab Suci ini ketika mereka berhadapan dengan masalah apa saja. Karena ia diyakini sebagai petunjuk yang dapat membimbing kehidupan mereka.
Para kaum liberal seperti Jabiri ini mungkin sebenarnya sadar akan posisi teologis al-Qur’an ini. Maka langkah yang pertama dan utama sekali yang mereka lakukan dalam usaha mereka untuk mendekonstruksi ajaran-ajaran dan hukum-hukum yang terkandung didalamnya adalah dengan meruntuhkan status teologis al-Qur’an itu, yaitu dengan memberikan keraguan tentang keaslian (otentisitas) al-Qur’an.
Sayangnya yang dirujuk kebanyakan untuk mendekonstruksi otentitas al-Qur’an ini adalah “mengekor” pada “kacamata” problematika Kitab Suci (Bible) di Barat. Asumsi-asumsi yang dipakainya pun sama. Ini satu kesalahan fatal.
2. Dalam karyanya ini, Jabiri juga mengkritisi metode Irfani yang dia asosiasikan dengan Syi’ah dan kaum Sufi. Disini, dia mengkritisi habis-habisan Ibn Sina dan al-Ghazali, dua tokoh yang selama ini dianggap antagonis. Menurutnya kedua pemikir inilah yang bertanggung jawab memasukkan sistem berpikir irfani ini kedalam ranah pemikiran Islam yang sekaligus menjadikan akal Arab-Islam itu mandek. Dia mengkritisi metode ‘Irfani, karena menurutnya metode ini lebih menggunakan naluri/hads ketimbang akal dalam usahanya untuk memperoleh ilmu pengetahuan. Dan metode ini menurutnya lagi terpengaruh filsafat Hermetisisme yang berkembang pasca Aristotle. Sementara bagi Jabiri akal dan panca indera manusialah satu-satunya jalan yang dianggap layak untuk memperoleh ilmu pengetahuan. Pandangan Jabiri dalam hal ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan pandangan kebanyakan orientalis yang melihat Sufisme hasil adonan dari budaya dan agama di luar Islam, bukan produk asli peradaban Islam.