Kubuka album biru
Penuh debu dan usang
Kupandangi semua gambar diri
Kecil bersih belum ternoda
Mendengar lagu ini anganku melayang ke masa kecil. Masa dimana foto-foto didalam album hanya hitam putih. Terlihat samar ibuku menggendongku, lalu aku teringat senandung lagu yang didendangkannya ketika aku menangis.
Tak lelo lelo lelo ledung
Cup menengo anakku Si Anung
Anakku sing bagus rupane
Terasa damai hati ini mendengar senandung ibu ketika itu. Dilain waktu pada saat bulan purnama tanggal 14 dan 15, ibu-ibu dan anak-anak gadis menabuh (membunyikan) lesung (alat penumbuk padi) menimbulkan irama yang indah sambil bernyayi;
Lesung jumengglung
Sru imbal-imbalan
Lesung jumengglung mangeker mangungkung
Tumandang nyedaki sak jroning padesan
Tok tok tek tok tok gung
Tok tok tek tok tek tok gung
Ibu mengudangku (memanjakanku) di halaman rumah di bawah pohon jambu sambil bersenandung;
Lan mbulan gedhe (wahai rembulan yang bersinar terang)
Ono santri menek jambe (ada pencari ilmu sedang memanjat pohon pinang)
Aku njaluk sethithik wae (saya minta cahayamu sedikit saja)
Golong-golong teplok (sambil berkata seperti itu, ibuku seolah mengambil rembulan dengan tangan kanannya lalu menempelkannya di keningku. Aku pun tertawa cekikikan ketika tangan ibu yang lembut menempel di keningku.
Memasuki usia taman kanak-kanak setiap pagi ibu memandikanku, menyiapkan baju seragam sekolah dan sarapan untukku. Sesekali ibu mengingatkanku dengan lagu jika aku kurang semangat atau tampak murung;
Taman yang paling indah hanya taman kami
Taman yang paling indah hanya taman kami
Tempat bermain berteman banyak
Itulah taman kami taman kanak-kanak
Mendengar ibu menyanyikan lagu itu seketika bangkit semangat belajarku karena teringat ibu guru, teringat teman-temanku di sekolah. Setelah mengantarku ke sekolah ibu biasanya berkemas menuju ke pasar. Ibu berjualan minyak goreng dan kelontong dengan jarak yang jauh dari rumah. Terkadang berjalan kaki namun terkadang naik sepeda gasela kesayangannya dengan kronjot (keranjang) menempel pada boncengannya. Di kedua sisi keranjang tersebut diisi dengan blek (sejenis jirigen) yang berisi minyak goreng, diatasnya barang dagangan lainnya. Maka jika saat ini saya mendengar lagu Iwan Fals yang bercerita tentang ibu, hatiku jadi trenyuh (sedih) karena lirik lagunya pas dengan sepenggal kisah ibuku dalam mengasuhku.
Ribuan kilo jarak yang kau tempuh
Lewati rintang untuk aku, anakmu
Ibuku sayang, masih terus berjalan
Walau tapak kaki penuh darah, penuh nanah
Ibuku memang pekerja keras. Jika ayahku pagi-pagi pergi ke sawah, ibuku melintasi sawah-sawah menuju ke pasar. Jika ayahku bertani menanam padi, ibuku berjualan sebagai pedagang kecil-kecilan. Suatu hari aku ikut ibu berjualan di pasar, wah senangnya bukan main.
“Ini anaknya ya Bu Jum?” Tanya teman-teman ibuku.
“Iya yang mbarep (anak pertama).”
“Lucu sekali kata yang lain.”
Sambil berkata dan mengerubungiku mereka tak jarang memasukkan uang ke dalam saku bajuku. Bahkan bermacam buah-buahan dan kue jajanan pasar memenuhi tas sekolahku. Ketika perjalanan pulang ke rumah hari itu ibu mampir ke tukang kayu, ibu membelikan aku mainan mobil-mobilan dari kayu, kayu pohon waru. Sambil mengayuh sepeda ibu menghiburku.
Katakan padaku hai tukang kayu
Bagaimana caranya memotong kayu
Lihat-lihat, lihatlah anakku
Beginilah caranya memotong kayu
Sesampai di rumah betapa gembiranya aku. Buah-buahan dan kue memenuhi tasku. Uang pemberian teman-teman ibu tersimpan di saku baju dan punya mobil-mobilan dari kayu.
Sorenya aku ikut ayah dan ibu ke pengajian kampung. Ustadz Bejo saat itu menjelaskan tentang sosok ibu dengan sesekali melucu. Orang-orang terhibur. Terkadang juga sedih sehingga orang-orang menitikkan air mata.
Ustadz Bejo menceritakan penderitaan ibuku ketika mengandung dan melahirkanku. Katanya aku hanya tujuh bulan berada di perut ibuku. Ibuku sangat kesulitan saat melahirkanku. Air mata membasahi wajahnya, keringat bercucuran, kaki dan tangan meregang, tetapi aku belum lahir juga. Orang-orang kampung berdoa, kedua tangan ibuku memegang amben (tempat tidur) sekuat tenaga. Orang-orang mengatakan aku terlahir prematur. Tubuhku kecil mungil membuat iba orang yang melihatku. Ibuku sedih dan menangis sejadi-jadinya. Tak percaya jika aku anak yang baru saja dilahirkannya. Mbah Marto sesepuh kampung menghibur ibuku.
“Sabar Jum, anakmu akan hidup.”
“Darimana Mbah Marto tahu?”
“Lihatlah sorot matanya.”
Ibu memperhatikan mataku, lalu memelukku dalam kesedihannya. Mendengarkan cerita Ustadz Bejo pada pengajian itu membuat jantungku berdetak kencang, air mataku tak terbendung. Maka saat ini jika aku mendengar lagu berjudul “Keramat” yang dinyanyikan oleh Bang Haji Rhoma Irama aku jadi teringat perjuangan ibuku ketika melahirkanku.
Hai manusia, hormati ibumu
Yang melahirkan dan membesarkanmu
Darah dagingmu dari air susunya
Jiwa ragamu dari kasih sayangnya
Dialah manusia satu-satunya
Yang menyayangimu tanpa ada batasnya
Suatu waktu ibuku pergi meninggalkanku. Ibu ingin mengadu nasib di negeri orang. Enam bulan tinggal di penampungan tak kunjung berangkat ke negeri orang. Di saat malam kian larut aku duduk di depan rumah sambil minum teh pahit, rebusan ubi jalar dan talas. Terdengar sayup-sayup lagu yang diputar dari radio milik Mas Jono.
Mama kembalilah padaku
Hanyalah dirimu harapanku, oh mama
Mama kembalilah padaku
Hanyalah dirimu pelita hidupku
Hatiku sedih, jiwaku meronta. Ingin berlari menjemput ibuku.
Waktu terus berlalu kini aku sudah tumbuh dewasa. Aku bekerja sebagai guru, sedapat mungkin aku memberikan pengertian kepada anak didikku tentang pengurbanan seorang ibu. Hari itu aku mengajar di kelas 8 dengan tema asyiknya bercerita.
Pada jaman dahulu di kalangan Bani Israil hiduplah seorang pemuda, Juraij Namanya. Ia adalah pemuda yang tekun ibadahnya. Namun ia pernah membuat kesah ibunya. Ibunya berdoa, Allah mengabulkannya. Juraij pun celaka karena doa ibunya. Namun Allah menyelamatkannya.
Hikmah dari cerita di atas adalah sebagai anak kita jangan sekali-kali membuat kesal ibu kita. Pepatah mengatakan “Surga berada di bawah telapak kaki ibu,” mengandung makna bahwa jika seorang anak ingin mendapatkan pahala surga maka perlakukan ibunya dengan sebaik-baiknya, jangan durhaka. Bagaimana caranya? Pertama, bebuat baik kepadanya. Kedua, bersyukur dengan keberadaan ibu kita. Ketiga, berkata dan bersikap sopan kepadanya. Keempat, mengasihi dan mendoakannya.
Begitu tinggi dan mulianya ibu kita sehingga Allah mempercayakan seorang ibu sebagai awal kehidupan manusia. Di dalam surah Al Mu’minun ayat 12-14, Allah berfirman yang artinya; “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha Sucilah Allah, pencipta yang paling baik. Kompasianer, selamat merayakan Hari Ibu. Jadikan Sepenggal Kisah Seorang Ibu ini menjadi Hadiah Buat Hari Ibu.
#hari ibu #hadiah buat hari ibu #sepenggal kisah seorang ibu #ribuan kilo #segumpal darah
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H