Pendekar itu terus mengejar. Cemetinya terus menyambar ke segala penjuru hutan, membuat suara halilintar bergema di mana-mana.
"Ayo, Bidadari. Kita lanjutkan pertarungan kita. Kau harus merasakan jurus terakhirku. Jurus cinta. Hahaha.'
'Kau tahu kau tak bisa bersembunyi. Suara halilintar cemetiku yang akan menemukanmu. Hahaha!"
Sementara gadis itu terus berlari, dengan sisa-sisa tenaganya. Napasnya memburu tersengal-sengal.
"Kau tahu di sini tak ada tempat yang cukup untuk menyembunyikan tubuhmu yang jelita, Bidadariku!"
Suara itu makin dekat, ketika gadis itu menyusup ke padang rumput. Ia terobos rumput yang setinggi lutut. Hingga semakin lama tubuhya semakin tenggelam di rumput itu.
"Lihat bulan purnama, Bidadariku. Ayolah, biarkan aku mengecup tahi lalat di pinggangmu. Umur belum cukup bagiku untuk mengerti arti membunuhmu di sumur itu. Bahkan Kakang Ajimu pun kubiarkan pergi. Tapi aku tak menyesal, demi melihat molekmu kini. Biar bulan purnama yang sama yang membalas kebaikanku waktu itu. Ayolah bidadari bertahi lalat. Hahahaha!" tawa Cemeti Halilintar panjang.
Gadis itu semakin takut. Ternyata malam purnama dulu kembali lagi, terang yang sama, ketakutan yang sama. Bulan yang sama menjadi saksi pembunuhan ketika itu dan kini.
"Hahaha!"
Tawa itu masih didengarnya panjang, lantang dan makin dekat. Takut, kalah, lemah menjadi satu berkumpul di tubuh dan hatinya, persis seperti di sumur perguruan ketika itu. Hingga rasa itu menjadi kejut ketika tawa itu tercekat, tiba-tiba hilang, entah lenyap.
"Mengapa, bagaimana?" ia tak tahu dan hanya bisa heran. Ia terbiasa membunuh, menghilangkan, melenyapkan nyawa dari tubuh lawan. Mereka mengerang, sakit, mengejang, dan lemas menghembus napas. Bagaimana dengan kematian Cemeti Halilintar? Begitu tiba-tiba, tawa itu hilang seakan suara itu terpenggal tak sempat mengerang atau menghembuskan napas terakhirnya.
"Siapa?" tanyanya sendiri.
Sunyi. Halilintar pergi, bahkan mati. Ketakutannya mengatakan hanya kematian yang bisa merebut tawa itu menjadi sunyi ini. Lemah, takut, kalah menyergapnya lagi seperti di sumur perguruan itu.
"Diam-diamlah di sini. Sampai fajar tiba." Ia ingat kata-kata Kakang Aji, kakaknya. Ia diamkan diri, menunggu fajar mengalahkan bulan purnama.
"Sumur ini aman. Diamlah di sini. Kebakaran hanya di rumah-rumah. Ingat, diam saja sampai fajar. Aku akan membantu Ki Ageng."
Sunyi di sumur itu, ramai di kampung terdengar jelas. Bengis api bergemeretak merubuhkan gubuk dan perguruan. Jeritan saling memburu, anak-anak, wanita, gadis-gadis, pemuda-pemuda murid perguruan mengaduh, mengampun tak bisa melawan, menangis dan memohon tanpa daya, sebelum tangis itu pun berhenti.
Teriak kepahlawanan murid-murid perguruan menjadi lolongan kematian. Yang diketahuinya Gagak Hitam dari Selatan menyerbu dan mereka mencari musuhnya sampai semua mati. Ditariknya kemben menutup pinggangnya yang merasakan dingin malam. Hingga derap kuda-kuda saling memburu membawa teriakan kemenangan, meninggalkan kesunyian, kesendirian.
"Ki Ageng, Kakang Aji, di mana?" ia hanya menggumam saja.
Fajar begitu lambat tak juga segera menjemput. Diliriknya purnama seperti emas menggantung di langit. Setetes air jatuh di tangannya, meleleh dari matanya.
Kejadian sumur seperti berulang, padang rumput yang menggelorakan sunyi, emas purnama yang meneriakkan sepi.
Hingga fajar datang. Ditariknya kemben menutupi pinggang yang ditimpa hangat fajar. Padang rumput telah hilang, juga kegelapan dan kengerian semalam. Dan yang dilihatnya kini hanya berupa padang yang lapang dikelilingi pohon hutan yang jauh di sisi-sisinya, begitu segar, luas pandang.
Di mana hangat tadi malam? Apakah hanya mimpi? Ia merasakannya, dari mana? Purnama? Fajar?
Didekapnya dirinya sendiri, mengingat kehangatan tadi malam di antara rumput-rumput yang cepat tumbuh hingga setinggi badan dan lenyap hilang tak kelihatan. Digigitnya bibir, merasakan kembali, tak ingin melupakan kesegaran yang sadar tak sadar ia rasakan semalam. Di mana? Fajar mengingatkan tubuhnya yang terbangun telentang menantang langit yang cemerlang. Hingga ia meringkuk dan mendekap dirinya sendiri.
Tangannya meraba pinggang dekat tahi lalat, berkelabat sekejap dan kelinci yang tak sempat melompat. Kelinci itu mengerang, mengejang, dan menghembuskan napas terakhirnya.
Pertarungan dengan Cemeti Halilintar yang nyaris menyambar tak menyisakan kelelahan. Kehangatan rumput liar semalam menyembuhkan dan memberinya kesegaran.
Dibakarnya kelinci itu.
Pasar Legen ramai oleh para pedagang menjelang tabur bunga, beberapa hari setelah pertarungan.
Gadis itu ada di sana, di depan pedagang bunga tabur.
"Mengapa kau selalu mengikutiku?" katanya dengan sikap waspada, sambil memilih-milih bunga.
"Bukan bermaksud jahat. Aku hanya ingin bergembira."
Mata gadis itu melirik tak paham.
"Aku nenek tua, bukan pendekar tapi bisa bersilat, bukan peramal tapi bisa melihat. Hati-hatilah dengan perutmu. Menyepilah, demi keturunanmu!" Kata nenek tua lembut sambil memilih bunga.
Bidadari Padang kembali melirik tak paham.
"Huk, huk, huk!" nenek itu terbatuk-batuk.
"Aduh," mengeluh, "dasar tenggorokan tua!" lebih keras ia bicara, "boleh minta minum gadis muda?"
Gadis itu memberi kendi di pinggangnya.
"Terima kasih! Lega sekarang!" Bicaranya keras, masih memilih-milih bunga.
"Sekarang, dengan tenang, cepat pergilah dari sini. Pengintai sudah mengikutiku beberapa hari," katanya lirih, "sebentar lagi mereka beraksi. Jejakmu aku yakin belum diketahui. Hati-hatilah."
Gadis itu pergi dengan tenang sambil bertanya-tanya siapa gerangan ia dan pengintai-pengintai yang diceritakannya. Ia cepat menuju makam yang seharusnya tak ditaburinya. Matanya mencoba waspada ke semua arah, termasuk ke arah penjual bunga dan nenek tua.
"Hiiiaaat!" nenek itu meloncat, menghindari panah-panah yang terbang ke arahnya. Namun panah itu dalam sekejap telah bersusulan menembus dan menghancurkan sosok nenek itu. Pasar menjadi ramai dan bubar.
Pendekar-pendekar berbaju hitam, serempak menggeledah tubuh reyot yang sudah mati itu. Mereka tak menemukan yang dicari. Mereka meninggalkan tubuh itu, dan sebentar kemudian menyala dibakar api yang entah darimana datang. Pendekar hitam-hitam mengobrak-abrik pasar dan makam, disambut oleh nenek-nenek penjual bunga tabur. Mereka berperang. Gagak Selatan melawan Merak Putih. Pertarungan ramai.
Bidadari Padang telah melarikan diri jauh ke arah Timur. Dibacanya bungkusan lontar yang ditemukannya di dalam kendi.
Ayam jago di padang rumput,
merak bersolek di pagi hari.
Menanti fajar menembus kabut,
merpati-merpati akhirnya mati.
Aku akan gembira jika engkau merpati putih itu.
Di makam gurunya ia menabur bunga di lereng gunung tempat ia dulu berlatih. Fajar memberi hangat di sumur itu. Seekor merpati putih itu tak menghindar ketika ditangkapnya.
Semua lenyap seperti debu di bukit pasir beterbangan.
Ia membaca lontar di kaki merpati itu. Ia pahami; Gagak Hitam dari Selatan melancarkan perang pada Merak Putih dan sekutunya. Pembasmian.
“Kakang Aji?” ia menyebut nama kakaknya.
Setelah bertahun-tahun, pelarian dan perlawanan, ia memilih menyepi di padang pasir, tempat pelariannya dan tempat berguru, ia mulai mendirikan perguruan.
Perburuan dan pertarungan masih terjadi di segala penjuru, jauh dari tempat itu.
Kepada Bidadari Padang, gadis remaja itu memanggil ibu, berlatih bersama-sama remaja-remaja perguruan yang semuanya perempuan. Mereka berlatih dalam senyap, tanpa suara, hanya pedang atau senjata yang saling berdentangan. Namun setelah berlalunya waktu, di satu malam ketika bulan purnama, di padang depan perguruan, ia terkesiap.
Ia melirik langit. Lempeng emas yang menggantung cemerlang, membentuk bayangan tubuhnya di padang pasir. Awan seperti perahu berjalan pelan. Ia waspada.
“Ada apa, Ibu?” Dewi Padang Pasir bertanya.
“Bawa beberapa temanmu ke dalam sumur pustaka. Tunggu di sana sampai fajar tiba!” perintahnya.
Sekilas bayangan di padang pasir lenyap menjadi gelap, bulan tertutup awan. Sebentar kemudian, bulan terang kembali dan bayangannya itu hilang, berganti suara pedang berdentangan dari balai di perguruan. Ia berdiri di puncak balai pustaka. Balai-balai mulai rubuh terbakar dari balai yang paling jauh dari tempatnya berdiri. Penyerbuan.
Ia perintahkan putri-putri perguruan ke padang pasir depan balai pustaka. Mereka segera bergerak cepat di dalam senyap membangun pertahanan. Mereka biarkan balai itu terbakar. Mereka diam.
Hingga denting pedang semakin ramai bersusulan dengan gemeretak balai yang hancur oleh api. Putri-putri yang bertahan di gempur Gagak Hitam. Hingga menjelang pagi, ketika lempeng emas bergeser dari puncak langit, rumput tumbuh diantara mayat-mayat. Korban makin cepat jatuh. Rumput-rumput pun banyak yang roboh. Gagak Hitam mulai habis, putri-putri menjadi mayat. Juga rumput yang rubuh menjadi mayat.
Remang matahari mulai bercahaya.
Tersisa empat manusia. Bidadari terdiam menunduk.
“Hahahaha, sekarang lengkaplah dendam kami. Kau harus rasakan atas kematian teman seguru kami Cemeti Halilintar.”
“Apakah kau pikir, aku lebih menang dari temanmu?” ia bicara waspada.
Mereka bertempur. Bidadari Padang dan Dewi Padang Pasir dikeroyok empat orang Gagak Selatan.
Satu rumput masih bergoyangan di angin pagi. Tiga gagak telah roboh. Bidadari bergetar. Fajar mulai datang.
“Hebat kau musnahkan tiga saudaraku! Kita akan mati bersama! Tak lama, bila aku terbunuh, kau pun akan mati. Hai Bidadari muda, rasakan cemetiku!” bentak Cemeti Hitam pada Dewi Padang Pasir. Belum Bidadari beringsut melindungi Dewinya, Cemeti itu telah sibuk dengan serangan satu rumput yang tersisa, begitu bentakannya terdengar.
Tak lama, kepala Cemeti Hitam terpenggal.
Bidadari Padang terbatuk.
Ia menyerbu pendekar yang tersisa, yang telah memenggal kepala Cemeti Hitam. Mereka bertarung. Dewi Padang Pasir terkesiap, melihat jurus-jurus yang dipertaruhkan bidadari dan lawannya. Begitu hebat. Dia menatap lekat pertarungan itu. Hingga pendekar itu mengerang dan menghantam tubuh bidadari yang seakan telah kaku.
Mereka diam, menahan sakit oleh luka dari pertarungan dengan Cemeti Hitam. Suasana sunyi.
Dewi Padang Pasir tak mengerti dan tetap terpaku. Ia mengingat jurus-jurus pertarungan tadi seakan sedang berlatih gerakan yang hampir sama dengan ajaran ibunya.
“Mengapa kau biarkan diri terbunuh oleh pedangku?” Bidadari menyelidik.
“Rumput-rumputku, semua sudah mati. Racun Cemeti sudah menjalar,” kata pendekar itu lemah. Tubuh mereka menjadi makin kaku.
“Mengapa kau datang ke sini?”
“Apakah kau lupa dengan sumur perguruan? Akhirnya, janjiku bisa aku penuhi,” katanya.
Dan mereka berdua diam, semakin kaku, dan hitam terbakar.
Dewi Padang Pasir mengetahui siapa pendekar itu setelah ia mendirikan perguruan, dan bertemu dengan para penerus Merak Putih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H