“Ada apa, Ibu?” Dewi Padang Pasir bertanya.
“Bawa beberapa temanmu ke dalam sumur pustaka. Tunggu di sana sampai fajar tiba!” perintahnya.
Sekilas bayangan di padang pasir lenyap menjadi gelap, bulan tertutup awan. Sebentar kemudian, bulan terang kembali dan bayangannya itu hilang, berganti suara pedang berdentangan dari balai di perguruan. Ia berdiri di puncak balai pustaka. Balai-balai mulai rubuh terbakar dari balai yang paling jauh dari tempatnya berdiri. Penyerbuan.
Ia perintahkan putri-putri perguruan ke padang pasir depan balai pustaka. Mereka segera bergerak cepat di dalam senyap membangun pertahanan. Mereka biarkan balai itu terbakar. Mereka diam.
Hingga denting pedang semakin ramai bersusulan dengan gemeretak balai yang hancur oleh api. Putri-putri yang bertahan di gempur Gagak Hitam. Hingga menjelang pagi, ketika lempeng emas bergeser dari puncak langit, rumput tumbuh diantara mayat-mayat. Korban makin cepat jatuh. Rumput-rumput pun banyak yang roboh. Gagak Hitam mulai habis, putri-putri menjadi mayat. Juga rumput yang rubuh menjadi mayat.
Remang matahari mulai bercahaya.
Tersisa empat manusia. Bidadari terdiam menunduk.
“Hahahaha, sekarang lengkaplah dendam kami. Kau harus rasakan atas kematian teman seguru kami Cemeti Halilintar.”
“Apakah kau pikir, aku lebih menang dari temanmu?” ia bicara waspada.
Mereka bertempur. Bidadari Padang dan Dewi Padang Pasir dikeroyok empat orang Gagak Selatan.
Satu rumput masih bergoyangan di angin pagi. Tiga gagak telah roboh. Bidadari bergetar. Fajar mulai datang.