“Hebat kau musnahkan tiga saudaraku! Kita akan mati bersama! Tak lama, bila aku terbunuh, kau pun akan mati. Hai Bidadari muda, rasakan cemetiku!” bentak Cemeti Hitam pada Dewi Padang Pasir. Belum Bidadari beringsut melindungi Dewinya, Cemeti itu telah sibuk dengan serangan satu rumput yang tersisa, begitu bentakannya terdengar.
Tak lama, kepala Cemeti Hitam terpenggal.
Bidadari Padang terbatuk.
Ia menyerbu pendekar yang tersisa, yang telah memenggal kepala Cemeti Hitam. Mereka bertarung. Dewi Padang Pasir terkesiap, melihat jurus-jurus yang dipertaruhkan bidadari dan lawannya. Begitu hebat. Dia menatap lekat pertarungan itu. Hingga pendekar itu mengerang dan menghantam tubuh bidadari yang seakan telah kaku.
Mereka diam, menahan sakit oleh luka dari pertarungan dengan Cemeti Hitam. Suasana sunyi.
Dewi Padang Pasir tak mengerti dan tetap terpaku. Ia mengingat jurus-jurus pertarungan tadi seakan sedang berlatih gerakan yang hampir sama dengan ajaran ibunya.
“Mengapa kau biarkan diri terbunuh oleh pedangku?” Bidadari menyelidik.
“Rumput-rumputku, semua sudah mati. Racun Cemeti sudah menjalar,” kata pendekar itu lemah. Tubuh mereka menjadi makin kaku.
“Mengapa kau datang ke sini?”
“Apakah kau lupa dengan sumur perguruan? Akhirnya, janjiku bisa aku penuhi,” katanya.
Dan mereka berdua diam, semakin kaku, dan hitam terbakar.