Mohon tunggu...
Wiatmo Nugroho
Wiatmo Nugroho Mohon Tunggu... -

hamemayu hayuning Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kronik Padang Rumput

3 Agustus 2018   09:11 Diperbarui: 6 Agustus 2018   19:10 407
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pendekar itu terus mengejar. Cemetinya terus menyambar ke segala penjuru hutan, membuat suara halilintar bergema di mana-mana.

"Ayo, Bidadari. Kita lanjutkan pertarungan kita. Kau harus merasakan jurus terakhirku. Jurus cinta. Hahaha.'

'Kau tahu kau tak bisa bersembunyi. Suara halilintar cemetiku yang akan menemukanmu. Hahaha!"

Sementara gadis itu terus berlari, dengan sisa-sisa tenaganya. Napasnya memburu tersengal-sengal.

"Kau tahu di sini tak ada tempat yang cukup untuk menyembunyikan tubuhmu yang jelita, Bidadariku!"

Suara itu makin dekat, ketika gadis itu menyusup ke padang rumput. Ia terobos rumput yang setinggi lutut. Hingga semakin lama tubuhya semakin tenggelam di rumput itu.

"Lihat bulan purnama, Bidadariku. Ayolah, biarkan aku mengecup tahi lalat di pinggangmu. Umur belum cukup bagiku untuk mengerti arti membunuhmu di sumur itu. Bahkan Kakang Ajimu pun kubiarkan pergi. Tapi aku tak menyesal, demi melihat molekmu kini. Biar bulan purnama yang sama yang membalas kebaikanku waktu itu. Ayolah bidadari bertahi lalat. Hahahaha!" tawa Cemeti Halilintar panjang.

Gadis itu semakin takut. Ternyata malam purnama dulu kembali lagi, terang yang sama, ketakutan yang sama. Bulan yang sama menjadi saksi pembunuhan ketika itu dan kini. 

"Hahaha!"

Tawa itu masih didengarnya panjang, lantang dan makin dekat. Takut, kalah, lemah menjadi satu berkumpul di tubuh dan hatinya, persis seperti di sumur perguruan ketika itu. Hingga rasa itu menjadi kejut ketika tawa itu tercekat, tiba-tiba hilang, entah lenyap.

"Mengapa, bagaimana?" ia tak tahu dan hanya bisa heran. Ia terbiasa membunuh, menghilangkan, melenyapkan nyawa dari tubuh lawan. Mereka mengerang, sakit, mengejang, dan lemas menghembus napas. Bagaimana dengan kematian Cemeti Halilintar? Begitu tiba-tiba, tawa itu hilang seakan suara itu terpenggal tak sempat mengerang atau menghembuskan napas terakhirnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun