"Tentu. Kalian juga, menikahlah!" gurauku kemudian. Lelaki berkemeja kelabu mengerling. Sebuah telepon datang.
Aku izin menyingkir dari meja dan berjalan ke sudut, duduk di samping tanaman iris yang rajin berbunga. Melewatkan perbincangan sore yang dari kejauhan terlihat lebih hidup, kuhidu dalam-dalam aroma udara, membiarkan alveolusku menukar tangkap oksigen dengan riang gembira. Aku mengenyakkan tubuh, menyela-nyela lalu lintas jalan di luar gedung dengan jari-jemari. Menengok kerai mungil yang berjuntai berjeda-jeda antara satu kerai dengan lainnya, aku tertawa-tawa dalam obrolan teleponku dan menyelesaikannya dengan perasaan lega.
*
"Lu tadi nelpon pake telpon rumah? Gue pikir kantor mana! Gue telpon balik. Mama tadi yang angkat. Buset!"
"Sori. Cuma itu yang mungkin. Aku cari pulsa di tetangga sambil berangkat tadi."
"Jir!"
"Jar, jir, jar, jir. Kamu tanam kacang panjang, apa pakai ajir?"
"Sudah ketemu? Katanya mau konfirmasi?"
"Iya."
"Dicentang, dong?"
"Nggak." Niar di sambungan seberang tergelak. "Kesimpulannya?"