Mohon tunggu...
Wening Yuniasri
Wening Yuniasri Mohon Tunggu... Guru - Pelajar kehidupan

Menulislah, maka engkau abadi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kode

12 September 2024   00:00 Diperbarui: 12 September 2024   00:11 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Penyelinapan yang tidak terlalu sukses. Wuah, jalanan penuh. Apa karena ini masih liburan, ya? Orang-orang berebut tempat," selanya masih terengah-engah.

Wanita bernama Nda itu duduk tepat di samping kanan lelaki dengan lengan kemeja tergulung itu. Mereka sekarang saling berbisik dan terkekeh. Dua orang yang dulu teman sebangku kemudian datang bergabung. Keduanya perempuan dengan riasan paling menarik. Adi mencomot kentang dan berkali-kali juga menyolek saus tomat di piring yang sama. Pembicaraan kini mengarah kepada dulu-kamu-menaksir-siapa.

"Eh, Nda, kalau aku dan dia, gimana?" wajahnya menghadap kepada Nda yang masih sibuk dengan foto-foto di ponselnya, sambil menatapku. Nda melihat kami berdua bergantian.

"Lah, emangnya kalian kenapa?"

Agak terkejut, dia menyahut, "Kamu ada kandidat nggak, Nda?" Dengan segera Nda menunjukkan beberapa pada ponselnya. Mereka berdua seperti dua orang murid sedang saling belajar rumus cepat terbaru. Aku menelan ludah, melihat piring kentang Adi, mencomotnya juga sepotong.

Agak gemas melihatku yang dulu mereka jumpai sering melucu terlihat lebih banyak diam, kedua orang di sampingku menyolek pinggang. Tertawa senang, dan berkelakar, mereka menanyakan nomor teleponku. Kami terlibat obrolan bertiga. Dua orang di ujung lain sedang sibuk dengan misi comblang-menyomblang, sedangkan Adi masih sibuk dengan kentang gorengnya. Dari sudut mata, si lelaki berkemeja kelabu mengekor pembicaraan kami. Memindai dengan sangat teliti.

"Oke, aku akan menelponmu. Tapi kenapa kabar darimu belum datang juga, Ta?"

"Hm?"

"Pernikahan! Aku ingin menjadi saksi kebahagiaanmu!"

"Tentu. Kalian juga, menikahlah!" gurauku kemudian. Lelaki berkemeja kelabu mengerling. Sebuah telepon datang.

Aku izin menyingkir dari meja dan berjalan ke sudut, duduk di samping tanaman iris yang rajin berbunga. Melewatkan perbincangan sore yang dari kejauhan terlihat lebih hidup, menghidu dalam-dalam aroma udara, membiarkan alveolusku menukar tangkap oksigen dengan riang gembira. Mengenyakkan tubuh, menyela-nyela lalu lintas dengan jari-jemari. Menengok kerai mungil yang berjuntai berjeda-jeda antara satu kerai dengan lainnya. Aku tertawa-tawa dalam obrolan teleponku dan menyelesaikannya dengan perasaan lega.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun