Mohon tunggu...
Wening Yuniasri
Wening Yuniasri Mohon Tunggu... Guru - Pelajar kehidupan - Nominator Best in Fiction Kompasiana Awards 2024

Menulislah, maka engkau abadi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kode

12 September 2024   00:00 Diperbarui: 12 September 2024   17:55 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sekonyong-konyong seorang teman lagi datang. Nda, yang sering menari breakdance itu sekarang lebih tirus. Dengan badan sebagus itu tentu mustahil dia menerima rundung lagi. Dia berdiri menyalami dan mereka saling menyentuhkan pipi, kiri-kanan. Aku cukup terkejut. Sedekat itu, sekarang? Sejak kapan hal semacam ini bermula, hal yang ingin aku ketahui juga. Seingatku, dia selalu bisa menahan diri dari interaksi berlebihan terhadap wanita, bahkan jika itu kawan karibnya sendiri.

Adi menyerobot masuk dan langsung duduk, tepat berseberangan denganku. Sebuah gelas dan sepiring kentang goreng di tangannya.

"Penyelinapan yang tidak terlalu sukses. Wuah, jalanan penuh. Apa karena ini masih liburan, ya? Orang-orang berebut tempat," selanya masih terengah-engah. "Sudah lama, Ta?" Aku mengangkat alisku, mengangguk.

Wanita bernama Nda itu duduk tepat di samping kanan lelaki dengan lengan kemeja tergulung itu. Mereka sekarang saling berbisik dan terkekeh. Dua orang yang dulu teman sebangku kemudian datang bergabung. Keduanya perempuan dengan riasan paling menarik. Adi mencomot kentang dan berkali-kali juga mencocol saus tomat di piring yang sama. Pembicaraan kini mengarah kepada dulu-kamu-menaksir-siapa.

"Eh, Nda, kalau aku dan dia, gimana?" wajahnya menghadap kepada Nda yang masih sibuk dengan foto-foto di ponselnya, sambil menatapku. Nda melihat kami berdua bergantian.

"Lah, emangnya kalian kenapa?"

Agak terkejut, dia menyahut, "Kamu ada kandidat nggak, Nda?" Dengan segera Nda menunjukkan beberapa pada ponselnya. Mereka berdua seperti dua orang murid sedang saling belajar rumus cepat terbaru. Aku menelan ludah, melihat piring kentang Adi, mencomotnya juga sepotong.

Agak gemas melihatku yang dulu mereka jumpai sering melucu terlihat lebih banyak diam, kedua orang di sampingku mencolek pinggang. Tertawa senang, dan berkelakar, mereka menanyakan nomor teleponku. Kami terlibat obrolan bertiga. Dua orang di ujung lain sedang sibuk dengan misi comblang-menyomblang, sedangkan Adi masih sibuk dengan kentang gorengnya. Dari sudut mata, si lelaki berkemeja kelabu mengekor pembicaraan kami. Memindai dengan sangat teliti.

"Oke, aku akan menelponmu. Tapi kenapa kabar darimu belum datang juga, Ta?"

"Hm?"

"Pernikahan! Aku ingin menjadi saksi kebahagiaanmu!"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun