Mohon tunggu...
Wening Yuniasri
Wening Yuniasri Mohon Tunggu... Guru - Pelajar kehidupan

Menulislah, maka engkau abadi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kode

12 September 2024   00:00 Diperbarui: 12 September 2024   00:11 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Lelaki berpostur tinggi itu sedang menunggu. Aku satu-satunya yang dia temukan pertama kali, pada saat yang ditentukan. Pandangannya terhenti untuk memastikan penglihatan. Bibirnya menggumamkan namaku, sedangkan dahinya disesaki jejalan kalimat: apa benar ini dia?

Dia bergegas menyorongkan sebuah bangku yang dengan susah payah ditemukannya dalam antrian pengunjung yang sama-sama sedang menunggu. Meletakkannya tepat di sisi kirinya, lalu duduk kembali. Lengan kemeja kelabu sengaja dia gulung semenjak aku tersenyum menyambut usahanya. Lalu aku duduk juga, sebelum pengunjung lain melihat kursi mubazir yang disia-siakan. Cerukan sengaja dihadapkan ke arahnya, sangkaku, agar kami bisa leluasa saling menyapa.

"Kamu nggak ngasih tau dulu kalau mau ke sini,"

"Sengaja," jawabku tersenyum. Dia makin kikuk, menerap-nerapkan jam di pergelangan tangan kanannya.

Aku melirik ponsel. Pesanku pada Niar belum juga dibalas. Kubenamkan ponsel di saku setelah tak ada terlihat pesan dari teman yang kutelepon sebelumnya itu. Aku harus menghadapi ini dengan gagah berani. Sendirian.

"Kak, kalau mau foto couple, ada booth juga di sana." Seorang bercelemek coklat menghampiri sambil menunjuk lengkung bunga-bunga di salah satu sudut lalu menyerahkan carik kertas dan pulpen. Bahkan pegawai tempat ini pun mengira kami sepasang kekasih. Lelaki itu mengangguk.

"Kita naik, ya. Sepertinya sepuluh menit lagi Adi datang. Dia masih di jalan. Kita pesan tempat dulu," ajaknya sambil mengantongi ponsel hitam di saku kanan celana jins.

Aku menurut. Mengekor menaiki satu demi satu anak tangga berbatas besi hitam. Oh, lihatlah kami sekarang. Dia di ujung meja yang satu, sedangkan aku di ujung meja yang lain, duduk dengan punggung melintir. Punggung tangannya menopang dagu, memandangiku.

Adi belum juga datang. Ini sepuluh menit yang keterlaluan. Jam dinding sebesar hula hoop di sisi kiri mulai mengusik-usik. Detik-detik itu menjelma gebukan bass drum, berdentum-dentum. Jantung yang mudah terpengaruh membuat napasku makin sesak dan akan membuat suaraku tergetar pada suku kata pertama yang berhasil keluar dengan paksa.

"Aku tahu kamu bikin brand skincare."

Aku mengangguk. Berusaha tersenyum, aku menanyakan kabarnya, keluarganya. Satu lagi pertanyaan yang lebih umum untuk pertemuan yang khusus ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun