Aku mengangguk. Berusaha tersenyum, aku menanyakan kabarnya, keluarganya. Satu lagi pertanyaan yang lebih umum untuk pertemuan yang khusus ini.
"Mereka baik. Seperti yang kamu tahu, aku punya keponakan, dan tahun ini akan bertambah lagi seorang. Kamu ingat yang pernah kutunjukkan fotonya waktu itu? Dia sudah kelas dua SD."
Aku mengangguk lagi lalu menyorongkan mulut pada sedotan. Es dan coklat, beku dan tertutup. Sepertinya aku keliru memesan minum. Tapi aku butuh sesuatu untuk membuat nyaman kerongkongan.
Dia sepertinya lebih bisa menguasai keadaan. Greentea milk disesapnya baru satu kali di awal minuman itu datang. Sementara aku membiarkan isi gelas gemuk di hadapanku mencair, seolah-olah meminta cukup jeda agar aku siap berinteraksi dengan masa kini, yang direcoki masa lalu. Dia sekarang dan dia dahulu. Aku silam dan aku di masa kini. Time flies, people change berlaku baginya mungkin, dan sepertinya tak sedemikian benar buatku.
Aku teringat sebuah kelakar, lalu melemparkannya sebagai bahan obrolan, hal yang, bahkan dia sudah tak begitu mengingatnya.
"Mungkin aku akan menikah." Dia menegakkan kepala dan punggungnya.
Aku terdongak, menahan punggung dan perutku yang teraduk. Menatapnya lurus-lurus, menunggu kalimat selanjutnya.
"Aku ingat kamu mengucapkan selamat ulang tahun. Pesan yang terlalu panjang. Aku pikir, kamu sedang membuat surat yang tidak seorang pun mampu menangkap bahwa itu sebenarnya surat cinta. Sebuah kode."
Lelaki itu melihat ke arah pintu. Terdengar seseorang melangkah menaiki anak tangga.
 "Oh, hai Nda! Kelamaan! Kami sudah pesan duluan."
"Ya, nggak apa-apa, Zan."