*
Lelaki berpostur tinggi itu sedang menunggu ketika aku mendorong pintu masuk kaca. Matahari pukul empat sore menjadi lighting penunjang di belakangku. Aku adalah satu-satunya yang dia temukan pertama kali, pada jadwal reuni sore ini, bertepatan dengan hari jadi sekolah. Pandangannya terhenti untuk memastikan penglihatan. Bibirnya menggumamkan namaku, sedangkan dahinya disesaki jejalan kalimat: apa benar ini dia?
Dia bergegas menyorongkan sebuah bangku yang dengan susah payah ditemukannya di antara antrean pengunjung, meletakkannya tepat di sisi kirinya, lalu duduk kembali. Lengan kemeja kelabu sengaja dia gulung semenjak aku tersenyum menyambut usahanya. Segera bangku itu kududuki sebelum pengunjung lain melihat kursi mubazir yang disia-siakan. Cerukan bangku itu sengaja dihadapkan ke arahnya, sangkaku, agar kami bisa leluasa saling menyapa.
"Kamu nggak ngasih tau dulu kalau mau ke sini,"
"Sengaja," jawabku tersenyum. Dia makin kikuk, menerap-nerapkan jam di pergelangan tangan kanannya.
Aku melirik ponsel. Pesanku pada Niar belum juga dibalas. Kubenamkan ponsel di saku setelah tak ada terlihat pesan dari teman yang kutelepon sebelumnya itu. Aku harus menghadapi ini dengan gagah berani. Sendirian.
"Kak, kalau mau foto couple, ada booth juga di sana." Seseorang bercelemek coklat menghampiri sambil menunjuk lengkung bunga-bunga di salah satu sudut lalu menyerahkan carik kertas dan pulpen. Bahkan pegawai tempat ini pun mengira kami sepasang kekasih. Lelaki itu mengangguk.
"Kita naik, ya. Sepertinya sepuluh menit lagi Adi datang. Dia masih di jalan. Kita pesan dulu," ajaknya sambil mengantongi ponsel hitam di saku kanan celana jins dan berdiri.
Aku menurut. Mengekor menaiki satu demi satu anak tangga berbatas besi hitam. Oh, lihatlah kami sekarang. Dia di ujung meja yang satu, sedangkan aku di ujung meja yang lain, duduk dengan punggung melintir. Punggung tangannya menopang dagu, memandangiku.
Adi belum juga datang. Ini sepuluh menit yang keterlaluan. Jam dinding sebesar hula hoop di sisi kiri mulai mengusik-usik. Detik-detik itu menjelma gebukan bass drum, berdentum-dentum. Jantung yang mudah terpengaruh membuat napasku makin sesak dan akan membuat suaraku tergetar pada suku kata pertama yang berhasil keluar dengan paksa.
"Aku tahu kamu bikin brand skincare."