Mohon tunggu...
Wening Yuniasri
Wening Yuniasri Mohon Tunggu... Guru - Pelajar kehidupan

Menulislah, maka engkau abadi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Invasi 10 dan Sebuah Kapal

14 Agustus 2024   12:07 Diperbarui: 14 Agustus 2024   12:09 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Invasi 10 dan Sebuah Kapal

cerpen oleh: Wening Yuniasri

Linda berdiam di kamarnya. Sudah terlalu jamak jika semua orang mengira dia sedang tak melakukan apa-apa, hanya mengetik. Tiba-tiba sebuah interupsi masuk, mengusik. Tiada kernyit lagi di dahinya. Terlalu sering interupsi ini terjadi.

"Eh, Lin, aku punya ide!" seru Wuri dari ambang pintu.  Baru Linda ingat. Seharusnya pintu itu ditutupnya segera setelah dirinya masuk. Kecerobohan Linda itu membuat Wuri di situ sekarang, menyeringai lebar untuk mendedah-bedah segala kerusuhan di dalam kepalanya yang mendesak keluar.

"Besok ketika Eno kemari, kita biarkan dia tinggal di kamarku. Jadi kamarku harus kosong!" ujarnya lagi masih berseru.

Membiarkan kamarmu---maksudku---'gudang'nya kosong? Terbelalak kedua mata, Linda berseru dalam hati, hampir tak bisa mempercayainya.

Baca juga: Kapan Melukis Lagi?

Itu bukan kamar, Dear, itu gudang. Lagipula aku tidak mau membantunya barang sedikit pun sampai Eno datang nanti dengan kawan-kawannya yang 10 orang itu, menginvasi kota ini.

Biar saja mereka digelarkan karpet di ruang tamu.

Gugatan di batinnya makin menjadi-jadi.

"Kita tidak bisa membiarkan mereka tidur di ruang tamu, kan? Sekali-sekali mereka perlu juga dibiarkan tidur di ruangan yang lebih mirip dengan sebuah kamar!" lanjut Wuri seolah bisa memindai lintasan pikiran saudarinya.

Aku mulai membenci ini. Dia seharusnya melakukan ini sendiri karena dia yang lebih tahu. Jauh lebih banyak tahu tentang segala kemungkinan di mana saja barang-barangnya 'akan' dipindahkan. Oh, yang benar saja!

Linda tetap meneruskan pekerjaannya, mengetik sebuah artikel lagi, memberi waktu buat Wuri menarik diri dari kamarnya yang suci itu. Akan menyenangkan jika Wuri merapikan segala kekacauan yang pernah dia buat dua hari lalu di kamar itu. Proyek dia lancar, tapi kamar Linda bubar. Kertas yang dia gunakan tersebar memenuhi meja kerja dan ini---juga hal-hal serupa yang pernah terjadi---menjengkelkan hati Linda.

Dia sudah terlalu besar, sudah cukup dewasa untuk bertanggungjawab terhadap kekacauan yang dibuatnya khusus di ruang pribadinya tanpa mengusik orang lain lagi. Itu.

Lalu dia keluar, menghilang dari pintu.

"Nih."

Dia muncul lagi. Linda mulai kehilangan selera. 

Bisakah dia pergi saja? Barang sebentar saja sampai pekerjaanku selesai?

Linda mengembus napas dari hidung, meliriknya dari ujung kacamata yang melindungi dari radiasi layar, meluruskan punggung.

Sebuah benda berisik direntang dengan amat bersemangat oleh Wuri; sebuah kantong plastik yang dibelinya dari minimarket baru yang buka sejak seminggu lalu di pinggir jalan utama.

"Ini ukuran L. Sebenarnya masih ada lagi yang ukuran XL kalau kau berminat, mungkin lain kali aku bisa bantu beres-beres di sini. Lihatlah, bahkan ini bisa memuat badanmu!" katanya bersemangat, "oh kalau kau butuh, beritahu aku, oke?"

Lalu dia dengan sangat cepat menghilang dari pintu yang dua pertiga menutup.

Adakah orang di dunia ini yang mungkin akan bertahan dengan orang ini? Linda membatin lagi sambil meneruskan ketikannya yang tersendat interupsi.

Kamarnya itu gudang. Kapal pecah. Lebih pecah lagi dari kapal pecah. Ruangan yang tak bisa dibayangkan oleh seorang pun di dunia ini, ruangan yang dengan penuh ambisi ingin dirapikan, seumur hidupnya. Seolah-olah hanya itu impian utama yang hendak diraihnya. Linda tidak bisa mengelak lagi dari kenyataan itu. Kasihan, sebetulnya.

Kamar itu dulunya ruang makan. Sebuah meja dengan empat kursi di sekelilingnya. Lalu menjadi ruang belajar, sebuah meja belajar partikel berlapis putih dengan pintu di sisi kirinya. Terlukis di situ, seorang anak lelaki memegang gitar di bawah pohon. Meja yang bisa dipakai mereka berdua. Sebuah papan tulis kecil dan wadah kapur tergantung di sampingnya. Wadah kapur itu hadiah sebuah perlombaan; tujuh belasan. Semua dari mereka bisa menggunakan ruang itu untuk pura-pura belajar, pura-pura menyimak, dan pura-pura menjadi murid yang rajin. Linda adalah gurunya dan Wuri adalah satu-satunya murid yang bersedia diajarnya.

Ketika mereka beranjak remaja, kamar itu berubah menjadi ruang serbaguna. Papan tulis diseret ibu mereka menjadi alas buku-buku bekas, tepat di kolong meja belajar partikel yang mulai goyah. Sebuah tempat tidur usang dipasang di situ.

Mereka kehabisan kamar. Rumah diminati orang yang hendak mengontrak. Baru ada dua kamar. Kamar kapal pecah itulah yang ke tiga. Salah satu pintunya disumbat sehingga hanya satu pintu masuk yang bisa digunakan. Sempurnalah ruang yang semula bisa dilewati siapa pun menuju dapur itu, menjadi sebuah kamar. Sempurna.

Lalu mereka pindah.

Mereka kembali setelah lima tahun. Kamar itu, setelah melalui musyawarah, diberikan pada Wuri.

Sepuluh kali revolusi bumi terhadap matahari, begitu kata putaran waktu. Kamar itu dipenuhinya dengan buku. Dari mana dia dapatkan kekuatan untuk mendapatkan buku-buku bagus, Linda tidak ingin tahu.

Kamar itu penuh debu, sama baiknya dengan buku-buku yang datang dan bermalam di situ, bermalam-malam, hingga bilangan tahun berlalu.

Linda mengetahui bahwa Wuri mengalami gangguan pernafasan. Tiada jendela di kamar itu. Satu-satunya adalah "ventilasi" dari kaca mati di ujung dinding yang tinggi.

Semua ingin dia simpan. Termasuk kenangannya bersama masa lalu, tempat awalnya kamar itu dibuat. Tapi dia tidak bisa melepasnya. Terlalu sulit. Terlalu kuat genggam tangannya, enggan membuka.

Dia menyimpan buku-buku si bungsu. Dia menyimpan gulungan proyek si kakak bungsu. Dia juga menyimpan lebih banyak buku lagi di empat rak pendek yang terpisah.

Mungkin mereka memerlukannya suatu saat nanti, katanya suatu kali. Dia terlalu pengertian.

Linda ingin membuat dia melepas mereka. Semua yang ada di dalam situ tidak lagi berguna.

Tapi dia terus menyimpan.

Seorang tukang cat yang selama seminggu diberi mandat, mengecat semua eternit dan dinding. Dia mengerjakan kamar itu. Wah, banyak betul bukunya! Begitu komentarnya setelah selesai. Linda tidak tahu apa yang terjadi kemudian, karena tidak di situ.

Dari mana kemampuan menyimpan itu, Linda tidak tahu persis. Dulu dia tidak begitu.

Setiap kali mereka selesai memasak di bawah rimbun perdu bougenville, Wuri yang merapikan segalanya. Piring seng, sendok teh bergambar bintang tiga susun, pisau roti, bahkan pecahan genteng dan batu-batu.

Dia pandai memasak. Jauh lebih terampil daripada aku. Orang yang menyukai memasak biasanya menyenangi kebersihan. Bahkan bisa kau lihat bokong wajan di dapur kami, bersih mengkilat olehnya. Setiap minggu bergantian dia memeriksa semua lap dan serbet, rak piring dan dinding dapur basah, semua pisau dan peralatan berkebun, hingga kap mesin cuci.

Tapi tidak dengan kamarnya.

Dia lebih sering tidur di ruang tamu. Dia sangat jarang tidur di kamarnya kecuali sangat terpaksa.

Suatu kali Linda pernah menengok kamarnya, hendak menanyakan sesuatu di pagi buta, waktu yang biasanya dia sudah bangun. Dia masih meringkuk di lantai kamarnya. Kasur tipis di ranjang kayu masih dalam gulungan. Masih untung dia tidak tidur di kolong. Tapi ini memilukan. Sebuah bantal besar menopang separuh tubuhnya sementara kedua kakinya berlindung di atas sebuah sajadah, satu-satunya alas bagi semua 'perangkat' tidur yang dia gunakan.

Dia pernah mengajak Linda menggunakan hula hop yang baru saja dibelinya. Dua buah. Dia berkata yang lebih mengkilap boleh Linda gunakan. Sekarang benda besar itu tersandar di salah satu dinding di kamarnya, ditumpuk bersama kantong plastik bekas, keyboard-keyboard komputer, dan kardus bekas kemasan monitor LCD. Linda tak pernah memakainya. Tidak sekali pun.

Monitor itu, monitor yang sebelumnya mereka beli secara patungan, teronggok di situ, menganggur tepat setelah PC opname dan tak kembali, sementara Linda mendapatkan hadiah undian sebuah tablet PC yang kemudian ditukar dengan notebook keluaran terbaru.

Linda lebih sering di kamarnya, mengurusi pekerjaan yang bertumpuk hingga jam tidur menantang kemudian tanpa sengaja terpejam dalam mimpi-mimpi menamatkan pekerjaan. Sementara Wuri tidur paling akhir, menandaskan segala cucian piring, mengelap semua ceceran di atas kompor dan meja, mengepel, juga memastikan hanya bohlam 5 watt yang bersinar jingga satu-satunya yang boleh terjaga selama semua penghuni rumah memejam hingga hari berikutnya.

Dari segala hal yang Linda ingat darinya, dia sangat rajin, dan sebaliknya, juga sangat malas. Dari mana dia mendapatkan kekuatan super plin-plan itu?

Dua hari lagi. Hanya itu kesempatan yang tersisa, dan itu bukan hal yang mudah. Apa lagi pekerjaan sedang membutuhkan lemburan. Dengan dia sering muncul di pintu, konsentrasi Linda akan menjadi mudah buyar. Eno, kerabat yang dia sebut barusan, akan datang dengan kekuatan penuh, sepuluh anggota dikerahkan. Kamar mungil itu, meskipun dikosongkan, akan butuh tempat untuk menyingkirkan semua barang di dalamnya.

"Mungkin bisa kita tinggalkan lantai dan sebuah laci gemuk juga almari kosong untuk mereka. Sementara dia bisa memilih untuk memenuhi kamar orang lain atau membuang segala yang dia punya," gumam Linda sambil mengingat sesuatu.

"Memenuhi kamar orang lain? Maksudnya, kamarku?" ujar Linda terperanjat.

Tiba-tiba perut Linda terasa sangat penuh.***[wy]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun