Mohon tunggu...
Wedy Prahoro
Wedy Prahoro Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pemerhati Pendidikan dan Aktivis Agama

Pemerhati Pendidikan dan Aktivis Agama

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Peningkatan Mutu Pendidikan Melalui Ujian Nasional, Benarkah?

3 November 2024   14:45 Diperbarui: 3 November 2024   15:39 365
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar ASMI Desanta

Menurut teori pendidikan Benjamin Bloom, evaluasi dalam pendidikan harus mencakup taksonomi kognitif, afektif, dan psikomotorik untuk memastikan perkembangan peserta didik yang utuh. Di Indonesia, pendekatan ini didukung oleh pakar pendidikan Ki Hadjar Dewantara yang mengedepankan konsep "ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani" atau kepemimpinan yang memberikan teladan, dorongan, dan dukungan bagi perkembangan anak didik. Dengan demikian, sistem evaluasi seharusnya mendorong pengembangan kepribadian dan kemampuan individu secara menyeluruh.

Kritik terhadap Ujian Nasional dan Perkembangan Menuju Evaluasi yang Lebih Holistik

Ujian Nasional mendapat banyak kritik karena dianggap hanya mengukur kemampuan kognitif siswa, sementara dimensi afektif dan psikomotorik sering terabaikan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa ketergantungan pada hasil UN menyebabkan sekolah dan siswa fokus pada persiapan ujian yang bersifat drilling (pengulangan soal) dan menurunkan kualitas pembelajaran holistik. Evaluasi seperti UN ini sering kali menimbulkan tekanan pada siswa dan kurang mendorong kreativitas serta pengembangan keterampilan sosial.

Para pakar pendidikan, baik dalam maupun luar negeri, berpendapat bahwa evaluasi harus mengukur aspek karakter, sikap sosial, dan kecakapan hidup. John Dewey, seorang filsuf pendidikan dari Amerika Serikat, menyatakan bahwa pendidikan adalah proses yang seharusnya mengarahkan siswa pada pembelajaran yang bermakna dan relevan dengan kehidupan. Menurut Dewey, sistem evaluasi yang baik harus mendorong perkembangan individu tidak hanya dalam konteks akademis tetapi juga dalam hubungan sosial dan kemampuan menghadapi tantangan hidup.

Di Indonesia, pengamat pendidikan seperti Prof. Dr. Arief Rachman juga menekankan bahwa evaluasi pendidikan nasional harus berorientasi pada pengembangan karakter dan keterampilan hidup. Sistem evaluasi yang terlalu fokus pada ujian cenderung menciptakan "generation of test-takers" alih-alih "generation of problem solvers."

Asesmen Nasional sebagai Sistem Evaluasi yang Komprehensif

Dalam rangka mencapai tujuan pendidikan nasional, Asesmen Nasional (AN) dirancang sebagai sistem evaluasi yang lebih komprehensif, dengan tiga komponen utama yaitu Asesmen Kompetensi Minimum (AKM), Survei Karakter, dan Survei Lingkungan Belajar. AN tidak hanya mengukur kompetensi dasar dalam literasi dan numerasi, tetapi juga mengevaluasi karakter dan kondisi lingkungan belajar di sekolah.

Asesmen Kompetensi Minimum (AKM): AKM bertujuan untuk mengukur kemampuan dasar literasi dan numerasi yang penting dalam proses pembelajaran. Kompetensi ini dipilih karena literasi dan numerasi adalah kemampuan esensial yang akan membantu peserta didik dalam memahami berbagai disiplin ilmu lainnya. Namun, AKM tidak menilai keseluruhan kurikulum melainkan hanya kompetensi dasar, sehingga sekolah dan guru dapat lebih fokus pada pengembangan keterampilan hidup.

Survei Karakter: Survei ini bertujuan untuk mengukur nilai-nilai karakter seperti integritas, toleransi, gotong royong, dan disiplin. Aspek-aspek ini selaras dengan nilai-nilai bangsa Indonesia yang tercermin dalam Pancasila. Melalui survei ini, diharapkan dapat diketahui sejauh mana sekolah telah membentuk karakter siswa yang baik dan menginternalisasi nilai-nilai yang sejalan dengan tujuan pendidikan nasional.

Survei Lingkungan Belajar: Survei ini menilai kondisi lingkungan belajar yang mencakup aspek keamanan, kenyamanan, dan dukungan bagi siswa untuk belajar. Lingkungan belajar yang kondusif dianggap sangat penting dalam mendukung pengembangan karakter dan keterampilan sosial siswa, sehingga proses belajar menjadi lebih efektif.

Dengan komponen-komponen tersebut, AN diharapkan mampu menjadi alat evaluasi yang lebih relevan dengan fungsi pendidikan nasional sebagai proses pembentukan manusia seutuhnya, sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia.

Pandangan Pakar terhadap Asesmen Nasional

Para pakar pendidikan menyambut baik perubahan dari UN ke AN karena dianggap lebih sesuai dengan tujuan pendidikan nasional. Prof. Suyanto, seorang pakar pendidikan Indonesia, menilai bahwa AN adalah langkah yang baik karena tidak hanya menilai kemampuan akademik, tetapi juga memberikan perhatian pada pembentukan karakter dan kondisi lingkungan belajar. Hal ini penting untuk mengatasi kesenjangan yang ada antara capaian akademik dan pengembangan karakter siswa.

Howard Gardner, seorang ahli psikologi dan pendidikan dari Harvard University, mengusulkan konsep multiple intelligences, di mana manusia memiliki berbagai jenis kecerdasan seperti kecerdasan interpersonal, intrapersonal, dan kinestetik yang juga harus dipertimbangkan dalam evaluasi pendidikan. Dengan pendekatan seperti Survei Karakter dalam AN, sistem evaluasi pendidikan di Indonesia mulai mendekati konsep tersebut, di mana setiap individu memiliki keunikan yang perlu diapresiasi dan dikembangkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun