Saat dipondok dulu saya sering sekali melihat adek kelas yang sekolah TK dan sekolah SD. Mereka rata-rata berteman sesuai dengan teman sebayanya, teman sebaya itu bisa dikatakan anak-anak yang memiliki usia atau tingkat kematangan yang kurang lebih sama.Â
Karena rata-rata jika anak tidak berteman sesuai dengan teman sebayanya mereka akan merasa di kucilkan apalagi jika mereka berteman dekat dengan kakak kelasnya dan pastinya pikiran anak usia dini dengan anak remaja jauh berbeda. Na maka dari itu pentingnya kita memahami konsep dasar mengenai hubungan sebaya.
Konsep Dasar Mengenai Hubungan Sebaya
Teman sebaya adalah anak-anak atau remaja yang kira-kira memiliki usia atau tingkat kedewasaan yang sama. Mereka berinteraksi dengan teman sebaya yang seumuran dan memainkan peran yang berbeda dalam budaya atau kebiasaannya.Â
Namun, interaksi sosial, seperti persahabatan dan hubungan teman sebaya, juga memiliki dampak yang signifikan terhadap perkembangan anak. Kehidupan remaja sangat dipengaruhi oleh teman sebayanya. Fakta bahwa remaja dalam masyarakat modern, seperti saat ini menghabiskan sebagian besar waktunya dengan teman sebayanya membuat pernyataan Laursen dapat dipahami.
Salah satu fungsi kelompok teman sebaya yang paling penting adalah menyediakan sumber informasi dan perbandingan mengenai dunia di luar keluarga. Anak belajar tentang kemampuannya dari teman sebayanya melalui kelompok teman sebaya.Â
Anak menilai apakah karya mereka lebih unggul dari teman, setara, atau lebih buruk dari karya anak lain. Hal itu akan sulit dilakukan dalam keluarga karena saudara kandung biasanya memiliki usia yang berbeda. (bahkan teman sebaya).Â
Perkembangan sosial anak yang normal akan sangat diuntungkan dengan memiliki hubungan yang baik dengan teman sebaya. Sejumlah masalah, termasuk kenakalan dan putus sekolah, lebih mungkin berkembang pada anak yang agresif terhadap teman sebayanya.
Menurut Piaget dan Sullivan dalam Santrok (2007:57) menekankan bahwa anak-anak dan remaja belajar mode relasional interaksi timbal balik secara sistematis dengan teman sebaya. Ketika mereka harus menghadapi perselisihan dengan teman sebayanya, anak-anak belajar tentang prinsip kesetaraan dan keadilan. Sebaliknya, sejumlah teori ahli menekankan pengaruh negatif teman sebaya terhadap perkembangan anak dan remaja. Bagi sebagian remaja, mengalami penolakan atau pengabaian dapat membuat mereka merasa sendirian dan bermusuhan.
Kalian tahu tidak apa saja bentuk-bentuk kelompok teman sebaya?
Diantara banyaknya kelompok-kelompok sosial. Ada beberapa kelompok yang paling sering terjadi pada masa-masa remaja hal ini dijelaskan oleh Hurlock dalam sebuah bukunya:
- Teman Dekat
Pada masa remaja biasanya memiliki dua atau tiga sahabat atau teman dekat. Umumnya, teman-teman memiliki usia, jenis kelamin, dan tujuan, aspirasi, dan keterampilan yang sama. Teman dekat ini dapat saling mempengaruhi dalam berbagai situasi sebagai remaja.
- Kelompok Kecil
Ada sejumlah teman dekat di kelompok ini. Kelompok ini dimulai dengan hanya satu  jenis kelamin sama, namun kemudian terdiri dari dua jenis kelamin yang berbeda.
- Kelompok Besar
Kelompok ini terdiri dari beberapa kelompok kecil serta kelompok teman dekat. Dengan minat yang meningkat untuk bersenang-senang dan menjalin hubungan, kelompok ini berkembang. Karena jumlah orang yang tergabung dalam kelompok ini berkurang di antara perubahan. Akibatnya, jarak sosial mereka tumbuh secara signifikan.
- Kelompok Terorganisir
Kelompok ini dibuat untuk orang dewasa. Orang dewasa biasanya membentuk kelompok ini, seperti sekolah atau organisasi masyarakat. Kelompok ini mulai memenuhi kebutuhan sosial anak muda yang tidak tergabung dalam kelompok besar.
- Kelompok geng
Jenis kelompok ini ada karena remaja tidak berasosiasi dengan kelompok  atau kelompok besar, dan kelompok yang kurang puas dengan kelompok terorganisir dapat menghasilkan geng. Anggotanya cenderung berasal dari anak-anak sejenis yang tujuan utamanya mencegah penyebaran sosial penyakit melalui perilaku antisosial.
Apa sih hubungan sosial antar teman sebaya itu?
Hubungan sosial merupakan cara setiap individu berinteraksi atau bereaksi terhadap teman sebaya serta bagaimana pengaruh terhadap dirinya. Teman sebaya atau peer merupakan seseorang yang memiliki kesamaan ciri seperti kesamaan usia yang menimbulkan keakraban relative besar diantara kelompoknya. Menurut Kelly dan Hansen dalam Desmita (2010: 220-221) ada beberapa fungsi positif dari teman sebaya diantaranya:
- Mengontrol Impuls-Impuls Agresif
Remaja belajar menyelesaikan konflik melalui agresi langsung melalui interaksi dengan teman sebaya.
- Memperoleh Dorongan Emosional dan Sosial Serta Menjadi Lebih Independen
Remaja di beri dorongan untuk mengambil peran dan tanggung jawab baru oleh teman dan kelompok teman sebaya. Pengaruh apa yang diterima remaja dari teman sebayanya, mengakibatkan berkurangnya ketergantungan mereka terhadap dorongan dari keluarga mereka.
- Meningkatkan Keterampilan Sosial, Mengembangkan Kemampuan Penalaran, dan Belajar Mengekspresikan Perasaan-Perasaan Dengan Cara Yang Lebih Matang
Remaja mengembangkan keterampilan pemecahan masalah mereka dan belajar untuk mengekspresikan pikiran dan perasaan mereka melalui diskusi dan debat kelompok.
- Mengembangkan Sikap Terhadap Seksualitas dan Tingkah Laku Serta Peran Jenis Kelamin
Sebagian besar sikap tentang seksualitas dan peran gender terbentuk melalui interaksi dengan teman sebaya. Menjadi laki-laki dan perempuan muda mengajarkan remaja tentang perilaku dan sikap.
- Memperkuat Penyesuaian Moral dan Sifat-Sifat
Anak-anak belajar tentang benar dan salah dari orang dewasa. Remaja dalam kelompok teman sebaya mencoba untuk memutuskan sendiri. Remaja memilih mana yang benar setelah menimbang nilai-nilai mereka sendiri terhadap teman-teman sebayanya. Remaja dapat memperoleh manfaat dari prosedur evaluasi ini dalam mengembangkan keterampilan penalaran moral mereka.
- Meningkatkan Harga Diri (Self Esteem)
Bertemanlah dengan baik dan jadilah orang populer yang membuat remaja merasa nyaman dengan diri mereka sendiri.
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pergaulan Teman Sebaya
Conny R. Semiawan (1999: 165-167) berpendapat bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi pergaulan teman sebaya, yaitu:
- Kesamaan Usia
Anak-anak yang seumuran lebih cenderung memiliki minat dan topik untuk dibicarakan atau dilakukan yang akan mendorong mereka untuk berteman dengan teman sebayanya.
- Situasi
Saat menentukan berapa banyak anak yang lebih cenderung memilih permainan kompetitif daripada permainan kooperatif, faktor situasional tidak berpengaruh.
- Keakraban
Anak-anak memecahkan masalah lebih efektif dan kolaboratif ketika mereka bekerja dengan teman sebaya mereka yang akrab atau dekat. Selain itu, keakraban ini mendorong perilaku yang kondusif untuk pembentukan persahabatan.
- Ukuran Kelompok
Jika hanya ada sedikit anak dalam kelompok, interaksi cenderung lebih baik, lebih kohesif, lebih fokus, dan lebih berpengaruh.
- Perkembangan Kognisi
Anak-anak yang kemampuan kognitifnya meningkat juga membentuk hubungan yang lebih kuat dengan teman sebayanya. Ketika suatu kelompok memiliki masalah yang perlu dipecahkan, anak-anak dengan keterampilan kognitif yang unggul sering mengambil peran sebagai pemimpin atau anggota kelompok yang berpengaruh.
Ada juga beberapa faktor penyebab seseorang diterima atau ditolak yaitu:
- Penampilan (Performance) dan Perbuatan
Biasanya seseorang ada yang model pencarian temannya dengan melihat model penampilan dan perbuatannya. Jika dikalangan anak yang tidak suka dengan penampilan temannya yang tidak sesuai dengan model yang dia sukai apalagi perbuatan yang sering dilakukannya tidak sesuai dengan yang dia inginkan biasanya dia lebih memilih untuk tidak berteman dengannya dan berusaha mencari teman yang bisa memberikannya perilaku positif bukannya perilaku negatif.
- Sikap, Sifat dan Perasaan
Biasanya anak cenderung senang berteman dengan seseorang yang bisa kalau diajak curhat tentang suatu masalah yang dialaminya, selain itu dia mempunyai rasa empati maupun simpati jika temannya sedang memiliki banyak masalah. Jika dia memiliki teman yang tidak sesuai dengan sikap, sifat dan perasaan yang ia inginkan pasti dia tidak mau berteman dengan seseorang tersebut.
- Kemampuan Berpikir
Seseorang pastinya berusaha mencari teman yang kalau bisa memiliki kemampuan berpikir sama dengan dirinya. Hal tersebut ia inginkan karena jika mereka menghadapi suatu permasalahan secara bersama mereka akan menentukan cara menyelesaikannya dengan pemikirannya yang sama.
- Pribadi
Faktor yang terakhir itu tentang pribadi. Seseorang yang memiliki pribadi yang keras kepala biasanya sulit menentukan teman yang dianggapnya baik kepadanya. Karena orang yang keras kepala pasti beranggapan bahwa dirinya lah yang selalu benar.
Dampak Penerimaan dan Penolakan Seseorang
- Dampak Penerimaan Teman Sebaya
- Rasa senang, bahagia dan puas
- Rasa berharga karena dibutuhkan
- Dampak Penolakan Teman Sebaya
- Frustasi yang menimbulkan perasaan kecewa dan kesepian
- Timbulnya pertengkaran
- Munculnya permusuhan atau pengucilan
Bermain dan Permainan Bagi Anak Usia Dini Berdasarkan Teori Piaget dan Vygotsky
Bermain dan permainan memiliki dampak yang besar bagi perkembangan anak. Seorang anak akan belajar dan menyerap segala sesuatu yang terjadi di sekitarnya saat mereka bermain (Montessori dalam Sudono, 2000). Menurut pandangan ini, ketika anak-anak bermain, mereka mengalami proses perkembangan yang dikenal dengan belajar dan menyerap. Selanjutnya, setiap alat permainan berfungsi sesuai dengan imajinasi anak (Frobel dalam Sudono, 2000). Anak akan memperoleh konsep bahasa seperti "sama" atau "lain" melalui imajinasinya. Jika itu terjadi pada seorang anak, berarti anak belajar. Ada dua sudut pandang yang menunjukkan bahwa bermain membuka jalan bagi peningkatan pengetahuan dan keterampilan.
Menurut teori Piaget (1962), permainan anak-anak tidak hanya mencerminkan tahap perkembangan mereka, tetapi juga berkontribusi pada perkembangan kognitif mereka. Piaget selanjutnya mengatakan bahwa perkembangan kecerdasan terkait dengan perkembangan bermain. Contoh dari episode Saat bermain peran seorang anak perempuan dengan teman-temannya, anak belajar untuk melatih keterampilan merepresentasikan apa yang telah mereka pelajari dengan memainkan peran tersebut. Misalnya, mereka berpura-pura menggunakan daun atau kertas sebagai uang. Akibatnya, aktivitas bermain seorang anak akan dipengaruhi oleh tingkat kecerdasannya. Hal ini menunjukkan bahwa aktivitas bermain anak tersebut tertinggal dari anak-anak lain seusianya jika kecerdasannya di bawah rata-rata. Â Ada beberapa tahapan yang sesuai dengan perkembangan anak. Tahapan-tahapan ini merupakan hasil penelitian dari beberapa ahli perkembangan anak. Ada beberapa tahapan perkembangan bermain menurut Jean Piaget:
- Sensory Motor Play (3 atau 4 bulan sampai 2 tahun)
Pada tahap ini anak menikmati aktivitas bermain melalui sensor-sensor otot yang terdapat didalam tubuh terutama yang terdapat dalam lima indera. Sebagai contoh anak yang suka memasukkan mainan ke mulutnya, karena anak menikmati aktivitas tersebut. Piaget mendasari tahapan tersebut berdasarkan tahapan perkembangan kognitif anak usia 0-2 tahun melalui sensory motor karena anak berusahan mengenali lingkungan dan memperoleh informasi mengenai lingkungan melalui sensor otot-otot mereka masing-masing.
- Symbolic atau Make Believe Play (2-7 tahun)
Pada tahap ini kognitif anak sudah masuk pada masa pra-operasional konkret yaitu tahap pemahaman informasi melalui benda-benda konkret atau benda-benda yang nyata. Pada tahap ini kemampuan anak berimajinasi berkembang dengan pesat, dengan demikian pada tahap ini anak masuk pada masa bermain pura-pura atau symbolic/make believe play. Contoh: seorang anak yang sedang bermain boneka dan berpura-pura bahwa boneka tersebut sedang berbicara.
- Social Play Games With Rules (8-11 tahun)
Pada tahap ini, perkembangan sosial anak sudah berkembangan semakin baik. Anak sudah mulai senang bermain dengan teman sebayanya. Selain itu menurut Kohlberg, pada usia ini anak sangat mematuhi sebuah aturan yang dibuat sebelumnya. Berdasarkan hal tersebut pada tahap ini Piaget mengklasifikasi bahwa usia 8-11 tahun adalah tahap bermain sosial dengan aturan. Contoh: permainan petak umpet jika salah satu anak ada yang ketahuan tempat sembunyinya maka dia yang menjadi penutup mata berikutnya
- Games With Rules and Sports (11 tahun keatas)
Usia 11 tahun keatas, anak sudah masuk tahap perkembangan kognitif formal operasional. Pada tahap ini anak sudah mampu berfikir abstrak seperti orang dewasa. Dengan demikian pada masa ini anak sudah mampu menikmati bermain menggunakan aturan dan juga olahraga. Seperti contoh: bermain sepak bola sesuai aturan yang berlaku, sepak bola biasanya permainan yang disukai kalangan anak laki-laki.
Sejalan dengan Piaget Vygotsky menekankan bahwa perkembangan kognitif anak secara langsung dipengaruhi oleh permainan. Menurut Vygotsky seorang anak tidak bisa berpikir secara abstrak karena makna dan objek menjadi satu. Ia akan mampu membedakan makna dari objek sebenarnya melalui permainan. Akibatnya, bermain adalah proses untuk membantu diri sendiri. Partisipasi dalam kegiatan bermain oleh anak memberikan kesempatan untuk kemajuan dalam perkembangannya, bahkan memajukan Zone Of Proximal Development (ZPD) ke tingkat perkembangan keterampilan yang lebih tinggi dalam memfungsikan kemampuan.
Menurut Vygotsky dalam (Catron dan Allen, 1999:8) bermain berdampak langsung pada perkembangan kognitif anak. Anak-anak tidak dapat berpikir secara abstrak karena mereka mengasosiasikan makna (makna) dan objek satu sama lain. Anak-anak tidak dapat berpikir tentang kuda tanpa melihat kuda yang sebenarnya. Ketika anak-anak terlibat dalam bermain khayal dan menggunakan objek, seperti sepotong kayu, untuk mewakili objek lain yang merupakan "kuda", itu adalah tanda bahwa mereka mulai terpisah dari objek. Oleh karena itu, permainan simbolik memainkan peran penting dan signifikan dalam pertumbuhan pemikiran abstrak. Vygotsky juga mengatakan bahwa ZPD (Zone Of Proximal Development) adalah kondisi transisi di mana seorang anak membutuhkan bantuan khusus atau scalfolding untuk mendapatkan apa yang dapat mereka lakukan. Misalnya, dia akan naik ke tempat tidur tanpa menangis dalam situasi bermain pura-pura dengan teman, guru, orang tua, atau saudara kandungnya. Karena kerangka berada di bawah kendali anak dan dilakukan dalam situasi yang imajiner memungkinkan anak untuk melatih pengendalian diri saat bermain.
Akibatnya, anak-anak dapat menciptakan scalfolding secara mandiri untuk pengendalian diri, penggunaan bahasa, ingatan, dan kerja sama dengan teman lain. Bodrova dan Leong berpendapat (dalam Johson, 1999:14) bahwa pandangan Vygotsky tentang bermain bersifat menyeluruh dalam arti bahwa ia juga berperan penting dalam perkembangan sosial dan emosional anak.
Singkatnya, dapat dikemukakan kaitan bermain dengan perkembangan anak menurut beberapa tokoh termasuk teori kognitif Piaget, yang menekankan bahwa bermain peran lebih tentang berlatih dan mengkonsolidasikan konsep serta keterampilan, dapat menyarankan hubungan antara bermain dan perkembangan anak. Teori perkembangan kognitif Vygotsky memberi penekanan lebih besar tentang permainan peran dalam pengembangan pemikiran abstrak, keterkaitan ZPD, dan pengaturan diri.
Terdapat lima tahapan perkembangan bermain yang sekaligus sebagai kebutuhan(Mildred, 1935). Tahap perkembangan yang dimaksud terdiri dari bermain yaitu:
- Solitaire
Pada tahap bermain solitaire anak akan bermain  sendirian di panggung bermain. Anak-anak bermain dengan tangan dan kaki mereka di antara bagian tubuh lainnya. Tahap ini biasanya terjadi antara kelahiran dan usia satu tahun.
- Onlooker
Tahap kedua melibatkan menjadi pengamat. Di panggung anak muda ini hanya melihat atau sebagai saksi mata anak-anak yang berbeda bermain.Tanpa terlibat dalam permainan, anak memperhatikan dengan banyak usaha.
- Paralel
Bermain paralel adalah tahap ketiga.Pada tahap ini, anak bermain berdampingan dengan anak lain tanpa berkomunikasi atau mengembangkan keterikatan permainan.
- Asosiatif
Tahap keempat adalah permainan asosiatif, di mana banyak anak bermain bersama tetapi tidak bekerja dengan cara yang sama.
- Kooperatif
Anak berada dalam tahap bermain kooperatif di tahap kelima. Selama ini, anak-anak terlibat dalam bermain bersama dan berkolaborasi untuk menyelesaikan kegiatan bermain.
Fungsi Bermain dan Permainan Bagi Anak Usia Dini
Selain memenuhi kebutuhan anak usia dini, kegiatan bermain memiliki banyak fungsi perkembangan. Sesuai dengan pernyataan Gervey (dalam Brewer, 2007:142), yang menyatakan bahwa bermain sangat erat kaitannya dengan perkembangan anak. Menurut More Catron dan Allen (1999:148), bermain membantu anak mengembangkan enam aspek perkembangan anak, yang meliputi: aspek emosi, sosial, komunikasi, kognisi, dan keterampilan motorik serta kesadaran diri (personal awareness). Melalui latihan bermain anak akan mengalami perasaan yang berbeda termasuk senang, sedih, gembira, kecewa, bangga, marah, dan emosi lainnya Anak-anak belajar bergaul dengan orang lain dan memahami aturan-aturan pergaulan masyarakat melalui permainan juga. (Catron, 1999:241). Selain itu, menurut Catron dan Allen (1999:150), bermain membantu anak untuk:
- Mengembangkan kemampuan mengorganisasikan atau membentuk kelompok dan menyelesaikan masalah. Ini menunjukkan bahwa anak-anak akan memperoleh keterampilan organisasi melalui permainan, sebagaimana dibuktikan oleh permainan tim dan kelompok. Misalnya: permainan sepak bola dimana anak akan memilih cara membagi tim, berapa banyak orang yang ada disetiap tim, tim mana yang akan memulai permainan, dan ketentuannya. Sedangkan istilah "masalah penyelesaian" mengacu pada kemampuan anak untuk belajar bagaimana memecahkan masalah yang muncul selama waktu bermain. Misalnya: Dalam pertandingan sepak bola, seorang pemain membawa bola ke arah gawang dengan tangannya, bukan dengan kakinya. Teman-teman dari tim lain yang melihat ini langsung memperingatkannya untuk tidak membawa bola dengan tangan, dan jika dia melakukannya lagi, dia akan dikeluarkan dari permainan. sehingga anak yang bermain tidak sesuai dengan aturan atau curang tadi tetap mau ikut permainan dan berusaha mengikuti aturan yang ada dalam permainan.
- Mendukung perkembangan sosialisasi dengan cara-cara berikut: a) Interaksi sosial, termasuk menyelesaikan konflik dan berinteraksi dengan teman sebaya dan orang dewasa. b) Partisipasi adalah sesuatu yang serupa, untuk lebih spesifik asosiasi bantuan umum.c) Menggunakan kembali dan merawat objek dan lingkungan dengan benar adalah dua cara untuk melestarikan sumber daya. d) Memahami masalah multikultural dan kepedulian terhadap orang lain yang membutuhkan bantuan, seperti memahami apa yang mereka butuhkan dan menerima perbedaan individu yang dimiliki setiap orang.
- Menurut Brown dkk. (Brewer, 1995:150), bermain bertujuan untuk membantu seseorang mengekspresikan diri dan mengurangi rasa takut yang ada pada diri mereka sendiri. Sebaliknya, Bethelheim berpendapat (dalam Catron dan Allen, 199:253) bahwa bermain berfungsi memberi anak kesempatan untuk mengenali diri mereka sendiri dalam hubungannya dengan dunia luar seperti saat di sekolah.
- Membantu anak untuk menguasai makna atau maksud dari konflik dalam bermain akan menjadikan mereka terampil dalam mengelola, menangani, dan memecahkan masalah yang ada atau yang sedang mereka rasakan(Catron, 1999:253). Keterampilan pemecahan masalah sangat dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari anak dan persiapan untuk masa depan, sehingga anak akan menjadi individu yang baik yang dapat menyelesaikan masalah dengan baik saat masa remajanya. Sedangkan Trauma Sosial menyiratkan bahwa bermain akan membantu anak dalam melupakan kesedihan yang melekat pada dirinya. Hingga hari pertama masuk TK, banyak dari anak-anak ini yang tidak mau dipisahkan dari orang tua atau pengasuhnya. Hal ini menyebabkan orang tua atau pengasuhnya masih menunggu di luar kelas sampai kegiatan sekolah berakhir, bahkan ada juga yang sampai harus menunggu di dalam kelas. Mengajak mereka bermain sambil belajar agar suasana ceria dan penuh dengan canda dan tawa. Hal ini membuat anak-anak senang dan membantu mereka melupakan kesedihan karena terpisah sementara dari orang tua atau pengasuhnya. Ketakutan dan kecemasan anak berangsur-angsur mereda, dan keesokan harinya, ia dapat kembali ke sekolah tanpa pengawasan.
Tujuan dari alat bermain itu juga sangat penting. Seorang pendidik atau guru perlu menyadari bahwa permainan adalah alat bermain yang diperlukan untuk anak usia dini dan tujuannya adalah untuk membentuk manusia secara keseluruhan. Berikut ini beberapa fungsi alat bermain:
- Melatih panca indera mereka supaya anak peka terhadap sesuatu yang berada di lingkungannya.
- Melatih kecerdasan emosional mereka seperti rasa ingin tahu.
- Menanamkan nilai, moral, norma etika, budi pekerti dan aspek lainnya.
- Mengembangkan imajinasi, fantasi, dan idealisme anak.
- Melatih kerja sama, gotong royong, toleransi, saling menghargai dan saling membutuhkan antar anak.
- Mengenal angka dan huruf merupakan tahap awal dalam pembelajaran membaca, menulis dan menghitung.
Oleh karena itu, sebagai guru penting sekali memperhatikan kesenangan anak ajak mereka belajar sambil bermain jangan buat mereka bosan dan tidak memiliki keinginan untuk belajar lagi hanya karena merasa bosan saat berada didalam kelas
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H