Mohon tunggu...
Wahyu Aning Tias
Wahyu Aning Tias Mohon Tunggu... Freelancer - Manusia yang mempercayai menulis untuk menyembuhkan

Terimakasih Marx, Kafka, Dostoyevski, Chekov, Camus, Murakami, Coelho, Rumi Dari kalian mengalir kefasihan bertutur dan kebijaksanaan dalam diam

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sahabat Luka

16 Maret 2017   15:51 Diperbarui: 16 Maret 2017   16:04 494
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Kalau begitu saja, kenapa kamu sampai tidak masuk sekolah?! Atau kamu takut ketemu Patrick?”

Dina menggeleng lemah, sepertinya bersiap hendak menangis lagi. Dina lalu beringsut dan mengambil sesuatu dari balik bantalnya.

“Tadi pagi aku menemukan ini di atas meja kerja Papa.”

Mulanya Marina tidak mengerti, tetapi lama-kelamaan dia tahu bahwa yang sedang dipegangnya adalah sebuah surat permohonan cerai. Tertera disitu yang menjadi pemohon adalah Nyonya Martin, mama Dina sendiri.

“Astaga! Maafkan aku, Din, Tidak kusangka kamu harus menahan beban seberat ini sendirian di waktu yang hampir bersamaan.” Marina jadi semakin prihatin melihat nasib sahabatnya.

“Rasanya aku mendadak gila, Rin. Seharian ini pembantuku sampai bersusah payah untuk membangunkanku dan menyuruhku untuk sarapan. Aku tidak bergeming, aku tidak bisa menangis seharian dan ternyata airmataku membuncah saat melihat kamu datang.” Dina menangis lagi.

Marina menghela nafas panjang, dia tidak habis pikir kenapa Dina malang sekali hari ini. Apalagi, sebagai anak tunggal tentunya Dina akan sangat terpukul melihat kenyataan yang hampir pasti bahwa kedua orangtuanya akan berpisah. Meski selama ini, mereka seringkali dipisahkan oleh jarak dan waktu, tetapi Dina bisa menikmatinya, dia tetap bisa tumbuh menjadi anak yang baik dan hampir tidak pernah menyusahkan kedua orangtuanya.

Namun, ternyata kedua orangtuanya-lah yang menyusahkan Dina. Marina jadi sedih dan iba melihat keadaan sahabatnya.

“Sudah, tenang ya. Tinggallah bersamaku barang beberapa hari untuk menenangkan diri. Semoga akan ada jalan keluar yang terbaik untukmu dan keluargamu.” Begitulah, akhirnya Dina menuruti kata-kata Marina dan tinggal bersama Marina dan ibunya yang seorang janda untuk beberapa lama dan hanya berpamitan pada pembantunya.

***

Selama tinggal bersama Marina, Dina menjadi sedikit tenang, setidaknya ada yang meringankan beban batinnya. Ibu Marina juga tidak kalah baik dan ramahnya pada Dina, dia cenderung dimanjakan dan seolah-olah seperti anaknya sendiri. Sebenarnya, Dina tidak begitu suka jika diperhatikan melebihi ibunya sendiri, tetapi dia tidak bisa berbuat apa-apa. Mamanya memang masih sering menelepon Dina, tetapi tetap saja keras kepala dan menginginkan perceraian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun