Mohon tunggu...
Wahyu Aning Tias
Wahyu Aning Tias Mohon Tunggu... Freelancer - Manusia yang mempercayai menulis untuk menyembuhkan

Terimakasih Marx, Kafka, Dostoyevski, Chekov, Camus, Murakami, Coelho, Rumi Dari kalian mengalir kefasihan bertutur dan kebijaksanaan dalam diam

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sahabat Luka

16 Maret 2017   15:51 Diperbarui: 16 Maret 2017   16:04 494
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Dina, dengarkan dulu penjelasan Papa!” katanya sembari berusaha meraih kedua bahu Dina. Tetapi, Dina berontak.

Now I know...Mama selama ini berusaha untuk menutupi kebiadaban Papa dihadapan Dina. Mama terlalu baik, tetapi kenapa Papa setega ini, heh?! Lepaskan Dina, Pa!”

Semuanya terdiam, tidak terkecuali Marina. Dia sedang berusaha meggambarkan apa yang sebenarnya tengah terjadi. Kenapa begitu mendadak dan bertubi-tubi, tetapi Marina malah menangis sejadi-jadinya. Dia terpukul melihat pemandangan di hadapannya.

“Kamu juga, Tante. Kupikir selama ini Tante baik padaku karena memang begitulah adanya. Dina bahkan terlanjur suka dengan Tante dan sempat tidak mau pulang. Tetapi ternyata Tante tidak lebih dari seorang pelacur! Selama ini Tante tahu kalau Dina anak Papa, jadi Tante baik sama Dina begitu, kan?!”

Dina lalu mendekati Marina yang bersimpuh sambil menangis.

“Marina... kamu tetap sahabatku. Aku hargai maksud baikmu untuk mengajakku kembali ke rumahmu hari ini. Aku akan selalu mengenangmu sebagai sahabat baikku dan sekaligus sahabat luka bagiku.” Dina mengecup dahi Marina. “Selamat tinggal...”

“Dina?!” seru papanya, tetapi seruan itu seolah berubah menjadi bulir-bulir debu yang menemani kepergian Dina hingga keluar dari balik pintu.

***

Dina tidak pulang ke rumahnya, tidak juga berangkat ke sekolah. Sudah satu minggu berlalu...dua minggu...polisi juga ikut membantu mencari keberadaan Dina. Minggu ketiga tersiar kabar bahwa di youtube ada video yang diperankan oleh seseorang yang mirip dengan Dina. Dalam video itu, si gadis nampak memperlihatkan bekas-bekas luka sayatan di sekujur tubuhnya. Marina menangis saat polisi memperlihatkan video itu padanya, sayatan-sayatan itu bertuliskan ‘Marina’, ‘Papa’, ‘Mama’, ‘Tante’ dan ada juga sayatan ‘Pelacur’ yang entah siapa yang menyayatkan itu di punggungnya. Lalu, dia tertawa-tawa di depan webcam sembari mengucapkan terima kasih pada semua orang yang sudah dia tuliskan di sekujur tubuhnya. Kata-kata terakhirnya begitu menyayat.

“Biarlah langit menghukumku. Aku sudah tidak layak dikasihani lagi. Sahabat lukaku, sahabatku luka. Hidup...setengah mati...atau mati...sama saja.”

Polisi segera melacak dimana gambar itu diambil dan kapan di-upload pertama kali. Sehari...dua hari...tiga hari...empat hari...lima hari...enam hari tanpa kabar. Saat itu Marina sedang menjalani ujian nasional, dia sama sekali tidak dapat berkonsentrasi belajar dan tidak peduli dia bisa lulus atau tidak. Dia sama hampanya dengan Dina—sahabat lukaku, sahabatku luka—bukan, Marina lebih terluka dari siapapun. Dialah korbannya, bukan Dina. Tetapi, mengapa Dina lebih memilih untuk tersesat dan tidak berusaha tegar seperti dirinya?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun