Lalu di sebelah ruang kelas X-B, tiba-tiba hiruk pikuk dengan suara riuh, cemoohan. Seorang cowok berkacamata bingkai hitam, tangkainya berwarna putih susu. Iya, dia memang norak dan suka dengan keadaan itu di dalam dirinya. Tak puas bergaya di antara teman-teman sekelasnya. Dia lari ke kelas X-B. Beberapa pasang mata anak-anak menatap sekilas lalu balik muka ke konsentrasi semula atau alihkan pandangan serta merta ke tempat lain. Pura-pura tak melihat wajahnya. Tak hiraukan dia.
Emma yang duduk di baris ke dua dari depan, Dia merasa ada yang janggal kemudian dia merogoh handphone di sakunya. Sepintas melirik Ony Saputra yang berada di ambang pintu. Emma kembali mantengin wajahnya di layar hape. Dia mengatup bibirnya sambil berkaca apakah jerawatnya tumbuh besar dan bengkak.
“Hai, bro!” Ony memberi salam Hi five ke udara. Tangan kirinya menenteng gadget. Celana panjang abu-abunya dipotong model pipa, mengecil ke bawah. Salah seorang murid dihampiri. “Nih, coba lihat meme picture-ku, gimana?”
Yang ditanya tak beri tanggapan.
“Lucu, kan?” lanjutnya.
Barulah siswa itu angguk pelan. Bersandar di tepi meja paling depan. Meja guru. “Nih, ada lagi ini,” tunjuknya.
“Lho Ony, plastiknya masih nempel,” timpal Doni.
“Iya dong.. barusan tadi malam aku beli. Keluaran terbaru. Ayahku isi banyak game.”
Semua murid tak menyukai dirinya. Dia memang kaya. Kaya dari ortunya.
Anak-anak perempuan yang mengumpul pada bubaran ketika Ony menyampiri, “Eh…” Dan mereka berpencar kemana-mana.
“Heh!” panggilnya. Tak ada yang menanggapi. Dengan bersungut Ony menutupi aplikasi di monitor smartphone. Sadar akan dirinya dicuekin. Daripada diam mematung di wilayah orang. Dia beranjak dari situ.