Bila cetak biru berbicara tentang pengembangan sistem, maka cetak putih membahas tentang strategi mempertahankan sistem.Â
Teknik tersebut telah berhasil diimplementasikan oleh lembaga filantropi seperti Dompet Dhuafa hingga organisasi masyarakat seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama'. Walaupun founding father-nya telah tiada, namun sistem gerakan mereka tetap sama.Â
Tentu, hadirnya otonomi pendidikan berangkat dari kebijakan pemerintah pusat yang kemudian direalisasikan sesuai dengan corak daerahnya masing-masing.
Aspek pertama adalah pembangunan infrastruktur. Pemerataan pendidikan digital tidak akan bisa terlaksana bila sarana dan prasarana minim.Â
Seminimal mungkin instalasi listrik hingga jaringan internet. Mengingat segala sistem pemerintahan sekarang terintegrasi dengan internet, sehingga sekali dayung dua tiga pulau terlampaui. Sektor ini dapat mengoptimalkan penyerapan dana pendidikan daerah.
Kedua adalah distribusi guru. Istilah "Ganti Pimpinan, Ganti Gerbong" sering muncul setelah pesta demokrasi selesai. Baik guru, kepala sekolah, dan pengawas banyak yang "dilempar ke mana-mana" tanpa melihat kondisi dan kebutuhan seharusnya.Â
Hal tersebut menyebabkan distribusi dan pemerataan guru menjadi tidak karuan. Tenaga pendidik perlu dibebani dengan proyek jangka panjang agar tidak mudah dipindahkan.
Ketiga adalah peran tri pusat pendidikan. Janji politik "pendidikan gratis" hampir selalu digunakan oleh para calon kepala daerah.Â
Hal tersebut membuat orang tua dan masyarakat acuh dan tidak mau mengambil peran terhadap proses pendidikan (terutama pendidikan anak).Â
Peran tri pusat pendidikan, sekolah, keluarga, dan masyarakat yang digaungkan Bapak Pendidikan Bangsa, Ki Hajar Dewantara seakan "dibunuh" secara perlahan oleh frasa tersebut. Penguatan Permendikbud nomor 75 tahun 2016 tentang Komite Sekolah perlu ditingkatkan.
Keempat adalah visi pembangunan pendidikan daerah. Tidak samanya visi pendidikan kepala daerah sebelum dan sesudah pergantian, perubahan struktural dinas, kebijakan dan program, sampai alokasi anggaran pendidikan yang tak karuan akibat pada intervensi kepala daerah maupun DPR Daerah yang baru terpilih.Â