Ketiadaan privilege berupa kecakapan intelektual, dukungan sosial-ekonomi, hingga infrastruktur yang memadai semakin melebarkan jurang ketimpangan. Kondisi tersebut tentunya belum mencerminkan amanat UUD 1945 pasal 31.
Tentu, kita tidak bisa berharap banyak kepada pemerintah pusat. Kapal Indonesia terlalu besar bila hanya berpangku tangan kepada sang nahkoda.Â
Belum lagi beragam corak latar belakang membuat tidak sepenuhnya kebijakan pusat dapat diterapkan di masing-masing daerah. Sehingga, kita perlu memunculkan stakeholders yang paham dengan kondisi daerah dan mampu menjadi game changer atas nasib pendidikan Indonesia. Berkolaborasi untuk meringankan beban pemerintah pusat menuju pemerataan pendidikan.
Kekuatan Daerah
Sejak desentralisasi kekuasaan digulirkan melalui UU (Undang-Undang) no. 32 tahun 2003 tentang Otonomi Daerah yang diperbaharui dengan UU no. 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, Kepala Daerah menjelma menjadi "raja-raja" yang memiliki kekuatan untuk mengatur urusan daerahnya masing-masing.
Pemerintah Daerah sudah sepatutnya menjadikan pendidikan sebagai aspek utama. Hal ini secara implisit terkandung dalam UUD 1945 pasal 31 ayat 4. Minimal 20 persen dari APBN maupun APBD untuk pendidikan. Hal tersebut juga didukung putusan Mahkamah Konstitusi no. 013/PUU-VI/2008.Â
Faktanya, hanya 7 daerah saja yang benar-benar melaksanakan amanat tersebut. Bahkan Menteri Keuangan Indonesia, Sri Mulyani, mempertanyakan stagnasi penyerapan anggaran pendidikan.Â
Semenjak 29 triliun kemudian ditingkatkan 444 triliun dalam rentang 10 tahun, kualitas pendidikan Indonesia seolah-olah berjalan di tempat.
Padahal, salah satu isu yang senantiasa dijadikan komoditas kampanye oleh para kepala daerah terpilih adalah isu pendidikan.Â
Pendidikan selalu menjadi hal yang paling seksi dalam mendulang suara. Hanya saja segala janji tersebut masih sebatas bualan tanpa ada realisasi.Â