Neil Selwyn pada bukunya yang berjudul Education and Technology: Key Issues and Debates menyebut ada dua klaim yang menyebut teknologi dapat mengatasi ketimpangan.Â
Pertama, menjadi sarana untuk mengatasi ketidaksetaraan "kesempatan" bagi setiap individu untuk berhak mengakses sumber daya berkualitas.Â
Kedua, melalui pendekatan radikal, teknologi mampu menyelesaikan ketidaksetaraan "hasil" yang mengacu  kepada kondisi yang adil.Â
Dalam bahasa yang lebih sederhana, melalui pendidikan digital, kesenjangan sosial dapat ditransformasikan menjadi inklusi sosial.
Alih-alih memiliki potensi yang besar, fakta yang dipaparkan oleh PISA (Program for International Student Assessment) yang diterbitkan oleh OECD (Organization for Economic Cooperation and Development) pada tahun 2015 justru menunjukkan hal sebaliknya.Â
Di tengah kampanye pendidikan berbasis digital, angka disparitas atau ketimpangan kualitas pendidikan di Indonesia justru melebar di angka 49 persen.Â
NEW (Network for Education Watch) Indonesia pada tahun 2017 menganalisis data tersebut yang diselaraskan dengan fakta yang terjadi di lapangan. Hasilnya, ada gap 2 tahun terkait kemampuan literasi padahal pada level pendidikan yang sama.
Melebarnya jurang disparitas diakibatkan oleh modal belajar teknologi digital yang belum sepenuhnya terpenuhi.Â
Dosen Sosiologi University of Twente, Prof. Jan Van Dijk, menyebut ada enam modal yang harus dipenuhi oleh seorang siswa untuk mengoptimalkan pembelajaran digital. Yakni modal waktu, materi, mental intelektual, sosial, dan modal kultural.Â
Lebih jauh, survey nasional yang dilakukan oleh Monash University tahun 2019 yang bertajuk Education for Future, menghasilkan kesimpulan bahwa semakin tinggi pendapatan keluarga, semakin tinggi preferensi untuk menggunakan teknologi bagi pendidikan anaknya.
Melihat kenyataan yang ada, Indonesia masih belum mampu melakukan demokratisasi pendidikan melalui platform digital. Bila tidak dikelola dengan baik, sangat mungkin potensi digital tersebut berubah menjadi bencana.Â