"Sendika Gusti." Kata Badra.Â
Lelaki itu segera menarik nafas dalam dan menghembuskan udara lewat mulut dengan pelan. Demikian ia lakukan beberapa kali. Setelah debar didadanya reda ia mulai bercerita.
"Sehari setelah Gusti pangeran pergi tetirah, esoknya, menjelang fajar, kuda-kuda prajurit disatroni musuh. Dengan panah beracun mereka berhasil membunuh hewan-hewan itu lebih dari separo jumlah kuda yang kami miliki. Tak satupun musuh yang bisa kami tangkap. Mereka kabur setelah prajurit Giriwana bergerak.
Kakang Jalak Seta hari itu juga mempersiapkan pertahanan. Ia yakin pembunuhan atas kuda-kuda prajurit itu akan disusul dengan penyerangan berikutnya.
Dengan membagi prajurit menjadi tiga kelompok, kakang Jalak Seta menyusun tiga lapis pertahanan. Lapis pertama di perintah memantau dan menghadang musuh pada jarak seribu tombak dari istana, di empat penjuru angin. Lapis kedua di belakang tembok halaman Nistha Mandala, dilengkapi dengan senjata panah api dan panah-panah tajam. Dan lapisan terakhir menjaga istana di Madya Mandala.
Esok hari menjelang fajar kami dikagetkan oleh sorak sorai musuh dari selatan. Prajurit dilapis pertama dari arah itu rupanya tak mampu menghadang lawan. Mereka berlarian mundur, dan berhasil melewati tumpukan jerami persediaan pakan kuda yang kami sebar di lapangan terbuka. Bumbung-bumbung bambu berminyak terselip di bawahnya. Ketika prajurit lapis pertama melintas, mereka menggulingkan bumbung-bumbung itu. Maka siaplah penyambutan atas kedatangan prajurit musuh dengan kobaran api.
Tak berapa lama kami menunggu, sebentar kemudian bermunculan orang-orang bercawat dari hutan perdu. Mereka bersenjata pedang yang mereka acung-acungkan keatas dan sebuah tameng kecil sebesar caping bambu. Pergerakan mereka bisa kami pantau karena cahaya beberapa obor yang kami pasang di tanah lapang.
Ketika sebagian besar orang-orang bercawat melewati tumpukan jerami, pasukan Giriwana pada lapis kedua menyambutnya dengan panah berapi. Serentak orang-orang bercawat itu berhenti, untuk menangkis panah-panah api itu. Namun panah api yang jatuh ketanah segera membakar jerami berminyak yang menutupinya. Maka berkobarlah api yang besar membakar arena jebakan itu.
Prajurit musuh mundur. Menunggu kobaran api jerami padam. Apa yang dialami orang-orang bercawat dari arah selatan itu, juga dialami oleh gerombolan serupa dari barat. Mereka tak berani menerobos kobaran api jerami itu, entahlah apa sebabnya. Mungkin takut dengan panah-panah tajam yang telah kami persiapkan, dan sudah memakan korban dari mereka yang datang menyerang.
Beberapa saat mereka menahan diri. Ada yang duduk atau diam berdiri. Namun ada pula yang mondar mandir berjalan kesana kemari, namun tetap menjaga jarak dari jangkauan panah-panah kami.
Sebagian menggoda para prajurit panah dengan membawa ranting ranting pohon, mendekati pagar istana agar jadi sasaran bidik prajurit Giriwana. Namun kami tidak mau terpancing dengan aksi mereka yang hanya ingin menguras anak-anak pan)ah kami.